Ando Ajo, no urut: 91
“Kenapa membisu? Apa kau itu patung?”
Tanyamu kala itu menanggapi keheninganku. Padahal kau tahu pasti, tanpa kuucapkan sepatah kata pun, kau tahu jika aku benar-benar mencintaimu lebih dari pria mana pun di muka bumi ini. Yaa, setidaknya setingkat lebih rendah dari cinta kasih ayahmu, aku tidak berani membandingkan itu.
Ahh iya, kembali lagi soal keheningan-ku. Arrg… bingung, sungguh aku bingung setiap kali kau melontarkan pertanyaan serupa. Tidakkah kau bisa melihat dari semua tingkah laku, semua perbuatanku, perhatianku? Atau menurutmu, itu semua bukan bentuk kasih sayang? Dari mana kau tahu? Kau jelas seorang wanita, tidak akan mungkin rasanya bisa mengerti apa yang aku rasa, apa yang kupikirkan.
Kau memintaku memanggilmu dengan kata mesra; Ayang. Tetap saja kulakukan itu, meski perutku begitu mual setiap kali kata lebay itu meluncur dari mulutku, atau juga dari mulutmu. Kau tahu pasti, aku bukan pria yang sok keren dengan mengumbar kemesraan di muka umum seperti banyak pria lain pada pasangannya. Apa kau tidak melihat? Itu hanya gencatan senjata, setelah itu, sumpah serapah mewarnai hidup mereka tanpa “umum” yang akan menyaksikan mereka. Yaa, paling bagus, orang tua mereka, atau teman indekos kamar sebelah, yaa paling tidak, para asisten rumah tangga mereka. Citra diri, kau tahu itu?
Kau minta ini, selalu kuikuti. Kau mau itu, tetap kupenuhi. Tapi, tetap saja kau menuntutku untuk mengucapkan; aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu. Arrg… otakku mulai kusut. Tidak-tidak-tidak, korsleting, kurasa itu lebih tepat. Dan aku tidak tahu sejak kapan itu terjadi. Kurasa, semenjak kau mulai histeris dengan paksaanmu padaku soal; katakan cinta! Katakan kau mencintaiku! Arrg… itu seperti membunuhku.
Aku heran. Siapa sih temanmu itu yang meracuni pikiranmu dengan doktrin-doktrin alay itu? Ahh… sepertinya kau tidak akan mau menjawab itu. Iyakan, Ayang? Haha, hebat! Kenapa sekarang aku tidak mual, ya? Haa, atau kau tidak bisa menjawab?
Baiklah, aku serius. Sungguh. Aku benar-benar heran, bingung, apa lagi kata yang cocok untuk kugunakan? Apakah sebegitu pentingnya untukmu mendengarkanku mengucapkan; Aku mencintaimu, Ayang. Sangat-sangat mencintaimu? Kupikir, itu konyol sekali. Masak lebih tinggi nilainya, lebih penting dari segala yang penting, hal konyol tersebut dari perbuatan dan perhatianku yang nyata?
Sepenting itukah?
Baiklah, akan aku ucapkan itu berulang-ulang agar kau senang—meskipun aku tahu pasti kau tidak akan senang. Ooh iya, seingatku, kau juga tidak pernah mengatakan apa yang kaupintakan padaku itu. Tidak sekalipun. Meski otakku sudah mengalami korsleting, aku masih bisa mengingat jelas.
Kau harus janji, jika aku mengatakannya, kau juga harus berbuat yang sama. Setuju? Baiklah.
“Aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu…”
Apa kau bisa dengar itu? Atau masih kurang? Akan aku lanjutkan.
“Aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu…”
Nah, sekarang giliranmu. Ayoo, jangan malu-malu. Katakan hal serupa padaku. Ayolah Ayangku tersayang. Ayang… oooi Ayang, ayoo katakan! Waah, aku benar-benar tidak merasa mual sedikit pun. Meski di sini begitu amis oleh darah.
Sial, red-wine dalam gelasku habis. Sebentar, aku akan mengambil botolnya saja, daripada harus bolak-balik mengisinya ke dalam gelas lagi. Hehe, jangan takut. Gelasnya kutinggalkan tepat di hadapanmu.
Nah, aku kembali Sayang. Berengsek… kenapa kamar mandi ini mulai terasa sempit? Apa karena bau amis dari genangan darah ini? Haha, lupakan saja.
Sampai di mana tadi? Oh iya… aku sudah mengucapkan apa yang pernah dan selalu kaupinta. Sampai dua puluh kali, lhoo. Haha, itu benar-benar rekor. Aku harus mencatatkan itu. Sekarang aku akan menuangkan wine ini ke dalam gelas, tapi… aku harus mendengar kau mengatakan hal serupa. Oke, Ayang?
Nah, nah, nah… sekarang aku yang harus mengucapkan, hmm… apa itu? Oh iya; “Kenapa membisu? Apa kau itu patung?”
Ooh, maafkan aku sayang. Sial, ini pasti gara-gara wine yang enak ini. Maaf, aku lupa. Hmm, kau cantik sekali Ayang. Lihat! Lihat seluruh tubuhmu yang telanjang ini. Indah sekali. Kau sangat indah tanpa setetes darah pun yang mengalir dalam tubuhmu.
Oops… aku lupa lagi. Sial, wine ini begitu nikmat. Aku lupa, jika darahmu telah memenuhi bathup tempat kau “tertidur” hehe, bahkan melimpah menggenangi seluruh permukaan lantai kamar mandi ini.
Ahh, benar-benar sial. Jejak telapak kakiku mengotori ruang depan dengan bercak darahmu. Nanti saja, aku akan mengepelnya.
Hmmm… luar biasa. Sepertinya wine ini akan lebih nikmat dengan tambahan beberapa tetes darahmu. Kau keberatan? Haha, kurasa tidak.
“Hei, kenapa membisu? Apa kau itu patung?”
UNTUK MEMBACA KARYA PESERTA LAIN, SILAKAN MENUJU AKUN FIKSIANA COMMUNITY.
SILAKAN BERGABUNG DI GROUP FB FIKSIANA COMMUNITY.
TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM DALAM EVENT “KATAKAN CINTA” YANG DIADAKAN OLEH GROUP FB FIKSIANA COMMUNITY.
Ando Ajo, Jakarta 02 Oktober 2015.
Terima Kasih Admin Kompasiana^^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H