Mohon tunggu...
Ando Gunung
Ando Gunung Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hukum, Kemiskinan, Budaya, Pariwisata, Bisnis.

Adolardus Gunung, Asal (NTT) Domisili di Jakarta Menulis Untuk Melawan Lupa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kurang Setuju terhadap Yurisprudensi MA: Guru Tak Bisa Dipidana karena Mendisiplinkan Siswa

24 April 2020   21:50 Diperbarui: 24 April 2020   21:51 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Polemik terkait guru dan murid terutama dalam masalah mendisiplinkan siswa terus menggegerkan ruang publik. Begitu banyak kasus mengenai mendisiplinkan siswa berujung pada masalah yang serius yang telah terjadi di tanah air. 

Pada bulan Mei 2019 lalu, telah mengundang respon publik khususnya masyarakat Manggarai terkait kasus pemukulan siswa kelas III SD berinisial SE oleh Kepala sekolah SD Wae Mamba di kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi NTT, berinisial SS. SS dilaporkan orang tua murid karena memukul muridnya menggunakan kayu Jambu seukuran jempol tangan orang dewasa. 

SE dipukul karena tidak mengikuti ibadat hari Minggu. akibat dari pemukulan itu sang murid berinisial SE mengalami luka lebam pada kedua betisnya. Murid kelas III SD yang baru berusia 8 tahun itu harus berjalan dalam kondisi pincang menahan rasa sakit selama dua hari. 

Ditemui di kantor Polres Manggarai, Rabu 15 Mei 2019 siang, SE yang didampingi ayahnya menuturkan bahwa peristiwa itu terjadi pada Senin, 13 Mei 2019 siang.

Saat itu sang kepala sekolah memeriksa semua murid yang tidak ikut ibadat pada hari Minggu. Hanya enam orang murid yang ikut ibadat dan mereka luput dari hukuman. Sedangkan puluhan murid lainnya yang tidak mengikuti ibadat, dipukul menggunakan kayu Jambu sebanyak satu sampai dua kali. 

Banyak orang yang dipukul. Saya dipukul dua kali, kena di betis. Sakit sekali. Saya hampir jatuh,” tutur SE. Peristiwa itu rupanya bukan pertama kali dialami SE dan murid-murid lainnya di sekolah itu.

SS dikenal sebagai kepala sekolah merangkap guru yang suka main tangan. Ia sangat ditakuti murid di sekolah itu. Kami sering dipukul oleh pak kepala sekolah.  Tuturnya. 

Peristiwa ini menjadi viral di media sosial baru-baru ini. Jika Yurisprudensi ini menjadi acuan kasus tersebut dan kasus-kasus yang lain yang serupa, maka menurut penulis kurang tepat.

Karena Yurisprudensi MA tersebut diambil dan diputus dari kasus Aop seorang guru dari Majalengka, Jawa Barat, dimana kasus tersebut berbeda dengan kasus di atas dan kasus-kasus lainnya yang penulis uraikan di bawah ini. Penulis kurang setuju dengan Yurisprudensi tersebut karena alasan berikut. 

Yurisprudensi MA: Guru Tak Bisa Dipidana Karena Mendisiplinkan Siswa (Tidak Ada Batasan-Batasannya)

 MA telah mengeluarkan Yurisprudensi. Dalam Yurisprudensi MA: Guru Tak Bisa Dipidana Karena Mendisiplinkan Siswa yang diputusakn saat mengadili kasus guru dari Majalengka, Jawa Barat, Aop Saopudin (31) diputuskan bebas murni oleh MA. Putusan mana diketok pada 6 Mei 2014 silam oleh Salman Luthan, ketua Majelis Hakim dengan Dr. Syarifudin dan Dr. Margono masing-masing anggota. 

Dalam putusan tersebut, pertimbangannya adalah “Apa yang dilakukan terdakwa sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana dan terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatan/tindakannya tersebut karena bertujuan  untuk mendidik agar menjadi murid yang baik dan berdisiplin. 

Menurut penulis yurisprudensi tersebut tidak ada batasan-batasan sama sekali (terlalu umum) terutama mengenai sampau di mana perbuatan seorang guru untuk mendisiplinkan siswa yang dipayungi yurisprudensi tersebut. Mengapa penulis mempersoalkan tentang batasan-batasan guru dalam mendisiplinian siswa?. Pertama-tama penuliskan uraikan mengenai kasus serupa yang terjadi di berbagai daerah di tanah air. 

1. Kasus di SDI Bea Mese, Manggarai Timur, NTT 

Seorang guru bernama Sebastian sapaannya memukul Paulus Alan seorang murid kelas II SD Bea Mese, Desa Melo, Kecamatan Poco Ranaka, Manggarai Timur, berusia depapan tahun. Sebastian memukul menggunakan kayu kopi yang cukup besar. Alan dipukul berkali-kali, disaksikan kawan-kawannya. 

Pada punggung Alan tanpak 9 luka lebam hitam nan merha, bengkak nan belur. Ia menangis kesakitan saat tubuhnya bergerak. Kata wartawan media, Albert Harianto, dalam Flores pos, 21/3). Saat penganiayaan itu berlangsung, Alan spontan kencing di celana, bahkan berak.

Dua pakaian Alan saat pelaporan (Rabu 16 Maret 2016), dibawa serta ke Polres sebagai barang bukti. Seturut rekaman beberapa media, ada dua alasan dibalik penganiayaan. 

Pertama, Alan dipukul karena semua hasil pengerjaan PR-nya salah. Tidak ada yang benar. Saya ini bodoh dan tidak mengerjakan PR. Aku Alan. Lalu spontan terjadi pemukulan.

Kedua, saat dipukul, dan lantaran kesakitan, Alan spontan juga mengeluarkan satu kata kotor terhadap guru itu. Amarahnya menaik, lalu menghujani punggung Alan dengan ayunan kayu petaka itu. Luar biasa! Kejam!. Ternyata guru Sebastian bukan hanya itu, sebelumnya sudah ada empat murid yang menjadi mangsa Sebastian. 

2. Kasus siswa jilat kloset di SMP Negeri 4 Poco Ranaka, Kabupaten Manggarai Timur (dilansir dari TRIBUNJOGJA.COM, MANGGARAI)

 Diberitakan, delapan siswa SMPN 4 Poco Ranaka, kabupaten Manggarai Timur, Flores NTT, dihukum menjilat closet (WC) di sekolahnya, Jumat (15/9/2017) pagi. Guru yang menghukum mereka berinisial YN, Guru kesiswaan di sekolah tersebut. Mereka dihukum karena menggunakan bahasa daerah Manggarai di Lingkungan sekolah sebelum KBM. 

Sang guru yang berstatus honor menggunakan dana BOSDA lalu memanggil para siswa ke kamar WC lalu disuruh menjilat closet secara bergantian. Awalnya kami tidak tahu. Anak-anak tidak beri tahu. Mereka takut karena guru tersebut mengancam akan memberikan nilai buruk kalau kejadian tersebut diberi tahu kepada orang tua.

Anak-anak kami pun tidak beri tahu sejak kejadian jilat closet tanggal 15 September 2017 karena ada teman-teman mereka cerita kepada kami. Ujar Frans Par kerika dihubungi Pos Kupang dari Ruteng per-telepon, Kamis, (28/9/2017) malam.

Frasn menjelaskan para orang tua yang anak-anaknya dihukum sebenarnya mau ke Dinas PPO Matim pada Sabtu (23/9/2017) pagi, tapi tidak jadi karena PNS di Matim kerja lima hari. Hari Sabtu mereka libur. (Pos Kupang). 

3. Kasus Seorang Guru Menampar Muridnya.

Jakart- video seorang guru di Purwokerto yang menampar muridnya viral di media sosial. Tindakan itu disayangkan organisasi profesi guru, Federasi Serikat Guru Indonesia (PSGI). Pertama, kami atas organisasi profesi guru FSGI prihatin dengan kejadian itu karena ada seorang guru yang berperilaku kekerasan didepan siswa. Kata Sekjen FSGI Heru Purnomo saat dihubungi, Jumat (20/4/2018).

Dari video, tampak tamparan yang diberikan guru tersebut cukup keras. Heru mengatakan tindakan kekerasan fisik macam itu dapat membuat murid cedera. Heru mengatakan meski tindakan tersebut dilakukan untuk mendisplinkan siswa, tindakan kekerasan tak pernag dibenarkan dalam dunia pendidikan. Hal ini termasuk dengan kekerasan verbal. Kalau seandainya memberi penjelasan seperti itu, ini sudah dinasihati. 

Tapi apakah menapar seperti itu diperbolehkan? Artinya itu kan melakukan pembelaan terhadap diri sendiri. Kompetensi guru itu patut dipertanyakan. Kata Heru. Kami sepakat untuk tak lakukan kekerasan verbal atau fisik. Guru anti kekerasan, guru yang menjunjung keberagaman. Guru harus membawa siswa ke dalam suasana pendidikan yang menyenangkan”. Sambungnya. 

Tindakan kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswa termasuk pelanggaran kode etik. Tindakan kekerasan ini juga berpotensi membawa guru tersebut ke dalam proses hukum.

Tindakan kekerasan di dunia pendidikan oleh guru itu sebuah pelanggaran etika. Dan itu membawa guru tersebut terancam pidana. Kalau sudah seperti itu apakah ada organiasasi profesi yang akan mendampingi? Sementara guru tersebut sudah melanggar etiks. Ujar dia. 

Terkait kasus ini, kepala sekolah harus memanggil guru tersebut dan menjadi mediator bersama orang tua murid untuk berdamai. Ketika sudah hal itu dilakukan, kata Heru, kepala sekolah harus meminta maaf kepada masyarakat dan melaporkan kejadian kepada dinas pendidikan. Ketika itu tidak dilakukan, dinas pendidikan harus memanggil kepala sekolah dan guru. Jangan sampau itu terulang kembali. Tuturnya.

 ANALISIS PENULIS TERKAIT YURISPRUDENSI DAN KASUS TERSEBUT

Jika dengan adanya payung hukum tersebut, lalu kemudian guru mendidik murid dengan cara kekerasan atau cara jorok seperti menjilat closet dalam kasus kedua terseut dan muridnya tidak berubah, apakah yurisprudensi itu tetap bertahan sebagai payung hukum?

Menurut penulis tidak bisa, dengal alasan sebagai berikut:

Pertama, dari kasus tersebut penulis secara pribadi merasa cara mendidik guru seperti itu kadang bisa membawa peeubahan terhadap siswa, kadang juga malah itu dijadikan alat untuk mematikan mental siswa. Setiap manusia memiliki karakter masing-masing. 

Dan karakter itu melekat pada diri manusia sejak lahir. Dan kadang untuk bisa merubah karakter itu cukup susah dan bahkan tidak bisa berubah. Kadang ada siswa yang dididik, dibina, dengan cara kekerasan mentalnya berubah signifikan, karena mentalnya cocok dibina dan dididik dengan cara kekerasan.

Tetapi kadang juga ada siswa yang jika dididik, dibina dengan cara kekerasan malah membuat mentalnya jadi down dan bisa menjadi trauma jangka panjang. Karena karakter mentalnya tidak cocok untuk dididik dan dibina dengan cara seperti itu.

Mungkin dengan cara pendekan yang mendalam, misalnya cara mendidik membina dengan cara pendekatan terhadap siswa, lalu secara pelan-pelan diberi pendidikan karakter, bagaimana cara supaya bisa disiplin, diberi nasihat mengenai baik dan buruk suatu tingkah laku, lalu yang terakhir diberi materi.

Bisa saja dengan cara seperti ini siswa bisa bedubah signifikan terhadap baik itu karakter mental, perilaku, dan lain-lain, bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah dulakukannya. Itulah gunanya ditempatkan guru BK di setiap sekolah. Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidikan hanya dapat menuntun tumbuhnya kodrat itu (Ki Hajar Dewantara)

Kedua, jika yurisprudensi MA tersebut tidak memberi batasan tentang sampai dimana perbuatan guru untuk mendidik siswa yang dipayungi hukum, maka yurisprudensi tersebut berpotensi menjadi pemicu konflik yang serius di kemudian hari. Mengapa demikian?

Kadang ada guru yang mempunyai masalah di luar sekolah, tetapi dia membalas dendamnya kepada siswa atau murid padahal pelanggaran yang dilakukan siswa adalah pelanggaran kecil, lalu guru tersebut tidak mengkhawatirkan akibat perbuatannya, karena sudah dilindungi hukum.

Kemudian pertanyaannya adalah, apakah perbuatan itu masih dipayungi hukum? Penulis 12 tahun menjadi siswa. Tentunya seluk-beluk yang berkaitan dengan guru dan murid di sekolah pasti tau. Apalagi yang berkaitan dengan mendisiplinkan murid. Oleh karena itu yurisprudensi MA tersebut harus diberi batasan-batasan mengenai perbuatan guru dalam mendisiplinlan murid. 

Peran Guru

Peran seorang guru adalah: guru sebagai pendidik, guru sebagai pengajar, guru sebagai pembimbing, guru sebagai pemimpin, guru sebagai pengelola pembelajaran, guru sebagai model dan teladan, sebagai anggota masyarakat, guru sebagai penasehat, guru sebagai pembaharu, (Inovator).

Namun terlepas dari peran guru tersebut di atas, peran vital seorang guru yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana cara mendisiplinkan siswa tanpa kekerasan agar karakter mental siswa bisa berubah. Inilah yang dituntut kepada seorang guru. Tanpa kekerasan di sini maksudnya adalah agar tidak terjadi seperti kasus-kasus tersebut di atas. 

Kesimpulan Dan Solusi

Bahwa, menurut penulis kehadiran yurisprudensi tersebut bisa menjadi pemicu konflik di kemudian hari jika tidak diberi batasan-batasan tentang sampai dimana perbuatan seorang guru untuk mendisiplinkan siswa yang dilindungi payung hukum dan sampai dimana yang tidak dilindungi hukumnya. Oleh karena itu, penulis merasa yurisprudensi tersebut harus diberi batasan-batasan.

Dalam mendisiplinkan siswa terutama dalam membina karakter mentalnya bisa melalui pendekatan secara persuasif, misalnya cara mendidiknya sengan cara meberi nasihat yang rileks, lalu secara pelan-pelan diberi pendidikan karakter, bagaimana cara supaya bisa disiplin, diberi nasihat tentang baik dan buruknya suatu tingkah laku, lalu yang terakhir diberi materi. Bisa saja dengan cara seperti ini siswa bisa merubah karakter mentalnya dan bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya.

penulis: Adolardus Gunung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun