Mohon tunggu...
ANDJANI RAMADINA AZZAHRA
ANDJANI RAMADINA AZZAHRA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa / Akuntansi / FEB/Universitas Mercu Buana

Nama : Andjani Ramadina Azzahra NIM : 43222120001 Dosen Pengampu : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan etik umb

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kuis 13 - Diskursus G Peter Hoefnagels Pada Scema "Criminal Policy" di Ruang Publik di Indonesia

6 Desember 2024   21:56 Diperbarui: 6 Desember 2024   22:00 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagian Atas (Penyebab Kejahatan):

Bagian ini mencantumkan beberapa teori yang menjelaskan penyebab kejahatan, antara lain:

  • Biologis/Psikologis:  Menjelaskan kejahatan dari perspektif faktor biologis dan psikologis individu.
  • Sosiologis: Menjelaskan kejahatan dari perspektif faktor sosial, seperti kemiskinan, diskriminasi, dan ketidaksetaraan.
  • Teori Penyimpangan Budaya:  Menjelaskan kejahatan sebagai hasil dari penerimaan norma dan nilai yang menyimpang dari norma masyarakat umum.
  • Teori Kontrol Sosial: Menjelaskan kejahatan sebagai hasil dari lemahnya ikatan sosial dan kurangnya pengawasan sosial.
  • Teori Lain:  Mencantumkan beberapa teori tambahan, seperti Labeling Theory, Conflict Theory, dan Radical (Critical) Criminology, yang menawarkan perspektif yang lebih kompleks tentang kejahatan.

Bagian Tengah (Hukum Pidana, Kriminologi, dan Kebijakan Pidana):

Bagian ini menggambarkan hubungan antara Hukum Pidana, Kriminologi, dan Kebijakan Pidana:

  • Hukum Pidana:  Merupakan penjelasan dan penerapan aturan hukum positif untuk mengatasi kejahatan.  Ini adalah kerangka hukum yang mengatur penanganan kejahatan.
  • Kriminologi:  Merupakan ilmu yang mempelajari fenomena kejahatan dalam semua aspeknya. Kriminologi berusaha untuk memahami penyebab, dampak, dan pencegahan kejahatan.
  • Kebijakan Pidana (Penal dan Non-Penal):  Kebijakan Pidana merupakan respons masyarakat terhadap kejahatan.  Ini mencakup kebijakan yang bersifat penal (berkaitan dengan hukuman) dan non-penal (berkaitan dengan upaya pencegahan dan rehabilitasi).  Gambar menunjukkan bahwa Kebijakan Pidana mencakup aspek penal dan non-penal, yang keduanya berakar pada Hukum Pidana dan Kriminologi.

Bagian Kanan (G. Peter Hoefnagels dan Skema Kebijakan Pidana):

Bagian ini menjelaskan pemikiran G. Peter Hoefnagels tentang Kebijakan Pidana:

  • Definisi Kebijakan Pidana: Hoefnagels mendefinisikan Kebijakan Pidana sebagai organisasi rasional dari reaksi sosial terhadap kejahatan.  Ia menekankan empat aspek utama:  ilmu tentang respons terhadap kejahatan, ilmu tentang pencegahan kejahatan, penentuan perilaku manusia sebagai kejahatan, dan totalitas rasional dari respons terhadap kejahatan.
  • Skema Kebijakan Pidana:  Bagan di sebelah kanan menggambarkan skema pemikiran Hoefnagels tentang Kebijakan Pidana.  Skema ini menunjukkan bagaimana Kebijakan Pidana terkait dengan kebijakan sosial yang lebih luas, termasuk kebijakan kesejahteraan sosial dan kebijakan pertahanan sosial.  Skema tersebut juga menunjukkan proses formulasi, aplikasi, dan eksekusi kebijakan pidana, serta peran penologi dan viktimologi dalam proses tersebut.
  • Penologi:  Di bagian bawah, dijelaskan bahwa penologi mempelajari asal-usul, perkembangan, kepentingan, dan manfaat hukuman.

Apa itu Criminal Policy?
Pertanyaan ini menjadi dasar dalam memahami diskursus G. Peter Hoefnagels terkait kebijakan kriminal (criminal policy). Dalam pandangan Hoefnagels, kebijakan kriminal adalah organisasi yang rasional dari reaksi masyarakat terhadap kejahatan. Kebijakan ini tidak hanya berbicara mengenai upaya penindakan hukum (penal policy) tetapi juga mencakup pendekatan non-penal yang lebih luas, seperti kebijakan kesejahteraan sosial dan pencegahan kejahatan. Bagaimana skema ini relevan dalam konteks ruang publik di Indonesia? Untuk menjawabnya, kita perlu menelaah penyebab kejahatan, respons sosial, dan efektivitas kebijakan yang diterapkan.

Apa Penyebab Kejahatan?

Menurut Hoefnagels, penyebab kejahatan dapat dipahami melalui berbagai pendekatan, seperti biologis/psikologis, sosiologis, teori penyimpangan budaya, teori kontrol sosial, hingga teori kritis seperti labeling theory dan conflict theory. Dalam konteks Indonesia, penyebab kejahatan sering kali melibatkan faktor struktural seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, dan lemahnya pengawasan hukum.

Sebagai contoh, kejahatan korupsi yang marak di Indonesia dapat dijelaskan melalui conflict theory, di mana kekuasaan digunakan untuk melanggengkan kepentingan golongan tertentu. Korupsi tidak hanya merugikan negara tetapi juga menciptakan ketidakadilan yang semakin memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Pertanyaannya adalah, bagaimana kebijakan kriminal dapat merespons penyebab kejahatan semacam ini secara efektif?

Apa Pilar Utama dalam Skema Criminal Policy?

Menurut Hoefnagels, criminal policy terdiri atas dua pilar utama:

  1. Penal Policy (Kebijakan Penal):
    Ini mencakup penerapan hukum pidana untuk menindak pelaku kejahatan. Penal policy melibatkan formulasi, aplikasi, dan eksekusi hukum pidana, termasuk peran penegak hukum, hakim, dan lembaga pemasyarakatan.

    • Contoh di Indonesia: Kasus korupsi besar seperti e-KTP menunjukkan bagaimana kebijakan penal diterapkan melalui penegakan hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pengadilan tindak pidana korupsi, dan eksekusi hukuman bagi pelaku. Namun, efektivitasnya sering dipertanyakan karena lemahnya pengawasan di lembaga pemasyarakatan, yang terkadang memberikan fasilitas khusus bagi koruptor.
  2. Non-Penal Policy (Kebijakan Non-Penal):
    Kebijakan ini lebih fokus pada pencegahan kejahatan melalui pendekatan sosial, seperti kebijakan kesejahteraan, pendidikan, dan pengurangan ketimpangan sosial. Non-penal policy berupaya mengatasi akar masalah kejahatan sebelum terjadi.

    • Contoh di Indonesia: Program pengentasan kemiskinan seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Program Keluarga Harapan (PKH) dapat dianggap sebagai bagian dari kebijakan non-penal yang bertujuan mengurangi faktor-faktor struktural penyebab kejahatan, seperti kemiskinan dan pengangguran.

Apa Tantangan Criminal Policy di Indonesia?

  1. Fragmentasi Kebijakan:
    Salah satu tantangan utama dalam menerapkan criminal policy di Indonesia adalah kurangnya koordinasi antara instansi terkait. Sebagai contoh, kebijakan penal sering kali tidak sinkron dengan kebijakan non-penal, sehingga pencegahan kejahatan tidak berjalan dengan optimal.

  2. Budaya Korupsi:
    Budaya korupsi di berbagai sektor pemerintahan melemahkan efektivitas kebijakan kriminal. Pertanyaannya adalah, bagaimana kebijakan kriminal dapat berjalan jika sistem pengawasannya sendiri tidak bebas dari korupsi?

  3. Kurangnya Partisipasi Publik:
    Criminal policy tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat. Namun, partisipasi masyarakat dalam mendukung kebijakan pencegahan kejahatan sering kali rendah akibat minimnya kesadaran dan pendidikan.

Pendekatan terhadap kejahatan selalu menjadi isu penting dalam sistem hukum di berbagai negara, termasuk Indonesia. Pemikiran G. Peter Hoefnagels, seorang kriminolog ternama, menghadirkan konsep "Criminal Policy" yang menggabungkan berbagai pendekatan untuk memahami dan merespons kejahatan. Criminal Policy, menurut Hoefnagels, adalah organisasi rasional atas reaksi sosial terhadap kejahatan, mencakup pencegahan, pengendalian, dan penanganan. Namun, mengapa konsep ini relevan untuk diterapkan di ruang publik Indonesia? Mengapa pendekatan yang komprehensif seperti ini diperlukan dalam menghadapi tantangan kejahatan yang semakin kompleks? Tulisan ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan merujuk pada skema pemikiran Hoefnagels.

Mengapa Kejahatan Perlu Dipahami Sebagai Fenomena Sosial yang Kompleks?

Hoefnagels berpendapat bahwa kejahatan tidak hanya dapat dipahami dari aspek hukum saja, tetapi juga dari kriminologi dan kebijakan sosial. Mengapa pendekatan ini penting? Karena kejahatan bersifat multifaktor, dipengaruhi oleh faktor biologis/psikologis, sosiologis, penyimpangan budaya, kontrol sosial, hingga teori kritis seperti labelling theory dan conflict theory. Dalam konteks Indonesia, akar kejahatan sering kali berkaitan dengan ketimpangan sosial, kemiskinan, dan kurangnya edukasi. Sebagai contoh, tindakan pencurian kecil-kecilan di ruang publik sering kali terjadi karena tekanan ekonomi, bukan semata-mata niat kriminal.

Dengan memahami kejahatan sebagai fenomena sosial yang kompleks, kebijakan kriminal di Indonesia dapat dirancang secara lebih komprehensif. Criminal Policy tidak hanya berfokus pada penal policy (hukuman pidana), tetapi juga pada pendekatan non-penal yang melibatkan kebijakan kesejahteraan sosial dan kebijakan pertahanan sosial. Mengapa pendekatan non-penal ini penting? Karena tidak semua kejahatan dapat diselesaikan melalui hukuman. Sebaliknya, pencegahan dan rehabilitasi sering kali memberikan hasil yang lebih efektif, terutama dalam menekan angka residivisme.

Mengapa Criminal Policy Harus Mengintegrasikan Pendekatan Penal dan Non-Penal?

Skema Hoefnagels menunjukkan bahwa pendekatan penal dan non-penal harus berjalan beriringan dalam kebijakan kriminal. Mengapa ini penting? Pendekatan penal mencakup formulasi, aplikasi, dan eksekusi hukum pidana, sementara pendekatan non-penal lebih menekankan pada pencegahan melalui kebijakan sosial. Di Indonesia, pendekatan ini menjadi relevan mengingat tingginya angka kejahatan yang disebabkan oleh masalah sosial seperti kemiskinan, pengangguran, dan rendahnya akses pendidikan.

Sebagai contoh, dalam kasus kekerasan di ruang publik, pendekatan penal seperti penegakan hukum penting untuk memberikan efek jera. Namun, tanpa pendekatan non-penal seperti edukasi masyarakat, peningkatan kesejahteraan, dan program rehabilitasi, akar permasalahan tidak akan terselesaikan. Mengapa penal policy saja tidak cukup? Karena hukuman pidana sering kali hanya menangani gejala, bukan penyebab utama kejahatan. Pendekatan non-penal diperlukan untuk menciptakan perubahan jangka panjang dalam masyarakat.

Mengapa Teori Hoefnagels Relevan untuk Ruang Publik di Indonesia?

Indonesia menghadapi banyak tantangan dalam mengelola ruang publik, mulai dari kejahatan jalanan hingga korupsi yang terjadi dalam pengelolaan fasilitas umum. Mengapa skema Hoefnagels relevan? Karena ruang publik adalah tempat di mana berbagai dinamika sosial bertemu, sehingga memerlukan kebijakan yang mencakup berbagai aspek, termasuk hukum, sosiologi, dan kebijakan sosial.

Sebagai contoh, kasus pelecehan seksual di transportasi umum menunjukkan bahwa hukum pidana saja tidak cukup untuk menangani masalah ini. Pendekatan non-penal, seperti edukasi tentang kesetaraan gender, peningkatan keamanan di transportasi umum, dan kampanye kesadaran masyarakat, juga diperlukan. Hal ini sejalan dengan pandangan Hoefnagels bahwa kebijakan kriminal harus rasional dan mencakup totalitas respons terhadap kejahatan.

Mengapa Criminal Policy Memerlukan Pendekatan Ilmiah?

Hoefnagels menyatakan bahwa Criminal Policy adalah science of responses dan science of crime prevention. Mengapa pendekatan ilmiah diperlukan? Karena kebijakan kriminal yang efektif harus didasarkan pada data dan analisis yang mendalam, bukan sekadar asumsi atau reaksi emosional. Di Indonesia, penerapan pendekatan ilmiah ini masih menjadi tantangan, terutama dalam hal pengumpulan data yang akurat dan analisis yang komprehensif.

Sebagai contoh, dalam menangani kejahatan di ruang publik, data tentang pola kejahatan, profil pelaku, dan faktor penyebab sangat penting untuk merancang kebijakan yang efektif. Mengapa data ini penting? Karena tanpa data, kebijakan kriminal cenderung bersifat reaktif dan tidak menyelesaikan akar permasalahan. Pendekatan ilmiah juga memungkinkan evaluasi yang lebih objektif terhadap efektivitas kebijakan yang telah diterapkan.

Mengapa Pendekatan Sosial dalam Criminal Policy Penting di Indonesia?

Kebijakan kriminal di Indonesia sering kali terlalu berfokus pada hukuman pidana, sementara aspek pencegahan dan rehabilitasi kurang mendapat perhatian. Mengapa pendekatan sosial penting? Karena banyak kejahatan di Indonesia bersumber dari masalah sosial, seperti kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan kurangnya akses pendidikan. Pendekatan sosial dalam Criminal Policy, sebagaimana yang diusulkan oleh Hoefnagels, dapat membantu mengatasi masalah ini melalui program-program seperti peningkatan kesejahteraan, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat.

Sebagai contoh, program pemberdayaan ekonomi di daerah rawan kejahatan dapat membantu mengurangi angka kriminalitas. Mengapa ini efektif? Karena dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tekanan ekonomi yang sering menjadi penyebab kejahatan dapat berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan kriminal yang efektif tidak hanya berfokus pada pelaku, tetapi juga pada kondisi sosial yang memungkinkan kejahatan terjadi.

Bagaimana Criminal Policy Merespons Kejahatan di Ruang Publik?

Ruang publik di Indonesia sering menjadi area di mana berbagai bentuk kejahatan terjadi, mulai dari pencurian, kekerasan, hingga kejahatan siber. Bagaimana kebijakan kriminal dapat merespons fenomena ini secara efektif?

  1. Pendekatan Penal di Ruang Publik:
    Dalam konteks ruang publik, penal policy diterapkan melalui penegakan hukum yang tegas, seperti patroli polisi, pemasangan kamera pengawas (CCTV), dan operasi penangkapan pelaku kejahatan. Namun, pertanyaan yang muncul adalah, apakah pendekatan penal saja cukup untuk mengurangi tingkat kejahatan di ruang publik?

  2. Pendekatan Non-Penal di Ruang Publik:
    Pendekatan ini melibatkan upaya preventif seperti penciptaan lapangan kerja, pembangunan fasilitas umum yang aman, serta edukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga keamanan bersama. Sebagai contoh, program Kampung Tangguh yang melibatkan masyarakat dalam menjaga keamanan lingkungan dapat dianggap sebagai bagian dari pendekatan non-penal.

Bagaimana Skema Hoefnagels Meningkatkan Efektivitas Criminal Policy?

  1. Pendekatan Holistik:
    Hoefnagels menekankan pentingnya integrasi antara penal policy dan non-penal policy. Di Indonesia, ini berarti bahwa penegakan hukum harus berjalan seiring dengan penguatan kebijakan sosial. Sebagai contoh, penindakan tegas terhadap pelaku kejahatan narkoba harus diimbangi dengan program rehabilitasi dan edukasi untuk mencegah penyalahgunaan narkoba di kalangan masyarakat.

  2. Peningkatan Transparansi:
    Dalam konteks ruang publik, transparansi dalam pengelolaan anggaran dan pelaksanaan kebijakan menjadi kunci penting. Bagaimana masyarakat dapat mempercayai kebijakan kriminal jika tidak ada transparansi dalam proses penegakan hukum?

  3. Edukasi dan Kesadaran Publik:
    Edukasi tentang pentingnya keamanan dan perlindungan di ruang publik harus menjadi bagian dari kebijakan non-penal. Sebagai contoh, kampanye kesadaran tentang bahaya kejahatan siber dapat membantu masyarakat melindungi diri dari ancaman di dunia digital.

Daftar Pustaka

  • Hoefnagels, G. P. (1981). White Collar Crime of Rotterdam Criminologist. Rotterdam: G.P. Hoefnagels.
  • Dokpri, Prof. Apollo UMB. (n.d.). Konsep Penologi dan Victimologi dalam Kebijakan Kriminal.
  • Soerjono Soekanto. (1986). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.
  • Muladi. (1995). Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
  • Rahardjo, S. (2010). Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Jakarta: Genta Publishing.
  • Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2020). Laporan Tahunan KPK. Diakses dari www.kpk.go.id.
  • Soerjono Soekanto. (2012). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
  • Muladi, M., & Arief, B. N. (1992). Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun