Apa Pilar Utama dalam Skema Criminal Policy?
Menurut Hoefnagels, criminal policy terdiri atas dua pilar utama:
Penal Policy (Kebijakan Penal):
Ini mencakup penerapan hukum pidana untuk menindak pelaku kejahatan. Penal policy melibatkan formulasi, aplikasi, dan eksekusi hukum pidana, termasuk peran penegak hukum, hakim, dan lembaga pemasyarakatan.- Contoh di Indonesia: Kasus korupsi besar seperti e-KTP menunjukkan bagaimana kebijakan penal diterapkan melalui penegakan hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pengadilan tindak pidana korupsi, dan eksekusi hukuman bagi pelaku. Namun, efektivitasnya sering dipertanyakan karena lemahnya pengawasan di lembaga pemasyarakatan, yang terkadang memberikan fasilitas khusus bagi koruptor.
-
Non-Penal Policy (Kebijakan Non-Penal):
Kebijakan ini lebih fokus pada pencegahan kejahatan melalui pendekatan sosial, seperti kebijakan kesejahteraan, pendidikan, dan pengurangan ketimpangan sosial. Non-penal policy berupaya mengatasi akar masalah kejahatan sebelum terjadi.- Contoh di Indonesia: Program pengentasan kemiskinan seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Program Keluarga Harapan (PKH) dapat dianggap sebagai bagian dari kebijakan non-penal yang bertujuan mengurangi faktor-faktor struktural penyebab kejahatan, seperti kemiskinan dan pengangguran.
Apa Tantangan Criminal Policy di Indonesia?
Fragmentasi Kebijakan:
Salah satu tantangan utama dalam menerapkan criminal policy di Indonesia adalah kurangnya koordinasi antara instansi terkait. Sebagai contoh, kebijakan penal sering kali tidak sinkron dengan kebijakan non-penal, sehingga pencegahan kejahatan tidak berjalan dengan optimal.Budaya Korupsi:
Budaya korupsi di berbagai sektor pemerintahan melemahkan efektivitas kebijakan kriminal. Pertanyaannya adalah, bagaimana kebijakan kriminal dapat berjalan jika sistem pengawasannya sendiri tidak bebas dari korupsi?Kurangnya Partisipasi Publik:
Criminal policy tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat. Namun, partisipasi masyarakat dalam mendukung kebijakan pencegahan kejahatan sering kali rendah akibat minimnya kesadaran dan pendidikan.
Pendekatan terhadap kejahatan selalu menjadi isu penting dalam sistem hukum di berbagai negara, termasuk Indonesia. Pemikiran G. Peter Hoefnagels, seorang kriminolog ternama, menghadirkan konsep "Criminal Policy" yang menggabungkan berbagai pendekatan untuk memahami dan merespons kejahatan. Criminal Policy, menurut Hoefnagels, adalah organisasi rasional atas reaksi sosial terhadap kejahatan, mencakup pencegahan, pengendalian, dan penanganan. Namun, mengapa konsep ini relevan untuk diterapkan di ruang publik Indonesia? Mengapa pendekatan yang komprehensif seperti ini diperlukan dalam menghadapi tantangan kejahatan yang semakin kompleks? Tulisan ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan merujuk pada skema pemikiran Hoefnagels.
Mengapa Kejahatan Perlu Dipahami Sebagai Fenomena Sosial yang Kompleks?
Hoefnagels berpendapat bahwa kejahatan tidak hanya dapat dipahami dari aspek hukum saja, tetapi juga dari kriminologi dan kebijakan sosial. Mengapa pendekatan ini penting? Karena kejahatan bersifat multifaktor, dipengaruhi oleh faktor biologis/psikologis, sosiologis, penyimpangan budaya, kontrol sosial, hingga teori kritis seperti labelling theory dan conflict theory. Dalam konteks Indonesia, akar kejahatan sering kali berkaitan dengan ketimpangan sosial, kemiskinan, dan kurangnya edukasi. Sebagai contoh, tindakan pencurian kecil-kecilan di ruang publik sering kali terjadi karena tekanan ekonomi, bukan semata-mata niat kriminal.