Mohon tunggu...
ANDJANI RAMADINA AZZAHRA
ANDJANI RAMADINA AZZAHRA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa / Akuntansi / FEB/Universitas Mercu Buana

Nama : Andjani Ramadina Azzahra NIM : 43222120001 Dosen Pengampu : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan etik umb

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

KUIS 11 - Diskursus Sigmund Freud dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

21 November 2024   02:17 Diperbarui: 21 November 2024   03:19 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagaimana rasionalisasi ini bekerja? Misalnya, seorang pejabat yang korup mungkin berkata pada dirinya sendiri, "Saya pantas mendapatkan ini karena saya bekerja keras," atau "Saya hanya mengambil sedikit dari sistem yang sudah rusak." 

Rasionalisasi tersebut memungkinkan individu untuk menjustifikasi tindakan korupsi mereka, meskipun mereka tahu bahwa tindakan tersebut melanggar norma moral dan hukum. Ego membantu individu untuk tetap merasa nyaman dengan tindakan mereka melalui pembenaran yang tampak logis.

Bagaimana rasionalisasi ini terkait dengan budaya korupsi di Indonesia? Dalam banyak kasus korupsi, pejabat publik menggunakan berbagai alasan untuk membenarkan perilaku mereka, seperti tekanan dari atasan, kebutuhan finansial, atau anggapan bahwa "semua orang melakukannya." Dengan demikian, Ego berperan dalam menciptakan narasi yang memperbolehkan individu untuk terus melakukan tindakan korupsi tanpa merasa bersalah.

Bagaimana Superego Gagal Mencegah Korupsi?

Pertanyaan penting lainnya adalah: bagaimana Superego, yang seharusnya bertindak sebagai pengawas moral, gagal mencegah perilaku korupsi? Superego adalah bagian dari kepribadian yang menginternalisasi nilai-nilai moral dan etika, serta memberikan rasa bersalah atau malu ketika seseorang melanggar norma moral. Namun, dalam banyak kasus korupsi, Superego gagal menjalankan fungsinya.

Bagaimana Superego bisa gagal? Salah satu alasannya adalah budaya korupsi yang mengakar dalam masyarakat atau institusi. Ketika perilaku korupsi menjadi norma yang diterima, nilai-nilai moral yang seharusnya diinternalisasi oleh Superego menjadi terdistorsi.

 Individu mungkin tidak lagi merasa bersalah atau malu ketika melakukan tindakan korupsi, karena mereka melihat tindakan tersebut sebagai sesuatu yang "normal" atau "diperbolehkan" dalam lingkungan mereka.

Selain itu, bagaimana pendidikan moral dan etika mempengaruhi perkembangan Superego juga perlu diperhatikan. Jika seseorang tidak mendapatkan pendidikan moral yang kuat sejak dini, Superego mereka mungkin tidak berkembang dengan baik, sehingga mereka tidak memiliki pedoman moral yang cukup kuat untuk menahan dorongan Id. Dalam hal ini, pendidikan moral yang lemah dapat menjadi faktor yang berkontribusi terhadap perilaku korupsi.

Bagaimana Lingkungan Sosial dan Budaya Mempengaruhi Perilaku Korupsi?

Selain faktor internal seperti Id, Ego, dan Superego, faktor eksternal seperti lingkungan sosial dan budaya juga mempengaruhi bagaimana perilaku korupsi berkembang. Di Indonesia, korupsi sering kali dianggap sebagai bagian dari budaya birokrasi dan politik. Bagaimana budaya ini terbentuk?

Korupsi dapat berkembang dalam lingkungan di mana norma-norma sosial tidak menentang dengan tegas tindakan tersebut. Misalnya, dalam lingkungan di mana pejabat publik secara rutin menerima suap atau menggunakan kekuasaan mereka untuk keuntungan pribadi, tindakan korupsi mungkin tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang salah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun