Korupsi sebagai Manifestasi Id yang Tidak Terkendalikan
Dalam konteks korupsi di Indonesia, apa yang memicu perilaku korupsi dapat dijelaskan melalui dominasi Id. Id, dengan dorongan primitifnya untuk mendapatkan kepuasan instan, mendorong individu untuk mengejar kekayaan dan kekuasaan tanpa memperhatikan norma hukum atau etika. Dalam pengertian ini, perilaku korupsi terjadi ketika individu tidak mampu mengendalikan dorongan-dorongan Id yang mengutamakan kepuasan pribadi di atas segalanya.
Sebagai contoh, seorang pejabat yang melakukan korupsi mungkin terdorong oleh keinginan untuk memperkaya diri sendiri, meskipun ia tahu bahwa tindakan tersebut akan merugikan masyarakat luas dan melanggar hukum.Â
Ketika Id mendominasi, individu cenderung mengabaikan nilai-nilai moral yang diinternalisasi oleh Superego, dan Ego tidak berfungsi dengan baik untuk menyeimbangkan dorongan instingtual dengan kenyataan eksternal.
Namun, apa yang menyebabkan Id menjadi begitu dominan dalam perilaku korupsi? Salah satu faktornya adalah kurangnya pengawasan internal dan eksternal. Psikoanalisis Freud menunjukkan bahwa jika Superego (yang berfungsi sebagai pengatur moral) lemah, maka Id dapat dengan mudah menguasai perilaku individu.Â
Dalam kasus korupsi di Indonesia, lemahnya penegakan hukum dan pengawasan dalam birokrasi bisa diibaratkan sebagai lemahnya Superego kolektif, yang memungkinkan Id individu untuk bertindak bebas tanpa takut konsekuensi.
Peran Ego dan Rasionalisasi Korupsi
Selain Id, apa peran Ego dalam perilaku korupsi? Ego, yang beroperasi berdasarkan prinsip realitas, berfungsi untuk menyesuaikan kebutuhan Id dengan kondisi dunia nyata. Pada dasarnya, Ego berusaha memuaskan keinginan Id, tetapi dengan cara yang dapat diterima oleh masyarakat. Dalam konteks korupsi, Ego sering kali berperan dalam rasionalisasi tindakan yang tidak bermoral.
Rasionalisasi adalah mekanisme pertahanan psikologis yang digunakan oleh Ego untuk membenarkan tindakan yang salah. Seorang pelaku korupsi mungkin berkata pada dirinya sendiri, "Semua orang melakukannya" atau "Saya berhak mendapatkan ini karena kerja keras saya." Rasionalisasi ini memungkinkan individu untuk merasa nyaman dengan tindakannya, meskipun ia tahu bahwa tindakannya salah.Â
Dengan demikian, Ego tidak sepenuhnya menghambat tindakan korupsi, tetapi justru memfasilitasi tindakan tersebut dengan memberikan pembenaran yang tampaknya logis.
Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk memperkuat peran Ego dalam menyeimbangkan Id dan Superego dalam konteks korupsi? Salah satu caranya adalah dengan memperkuat pendidikan moral dan peningkatan kesadaran hukum. Dengan memperkuat nilai-nilai moral dan kesadaran akan konsekuensi hukum, individu akan lebih mampu mengendalikan dorongan Id dan membuat keputusan yang lebih etis.