Gottfried Wilhelm Leibniz, seorang filsuf Jerman, menawarkan salah satu jawaban paling terkenal untuk problem kejahatan. Dalam karyanya Essays on Theodicy (1710), Leibniz berargumen bahwa dunia ini adalah "dunia terbaik yang mungkin ada". Menurutnya, meskipun dunia ini mengandung kejahatan dan penderitaan, Tuhan menciptakan dunia ini sebagai dunia yang paling optimal dari semua kemungkinan dunia yang bisa ada.
Leibniz menjelaskan bahwa Tuhan Maha Bijaksana dan mengetahui segala kemungkinan. Jika tidak ada kejahatan, maka kebahagiaan, kebaikan, dan keadilan mungkin tidak akan dipahami atau dihargai sepenuhnya. Dengan kata lain, kejahatan diperlukan untuk menyoroti kebaikan. Menurut Leibniz, Tuhan memiliki alasan yang baik dan bijaksana untuk mengizinkan kejahatan ada, bahkan jika manusia tidak selalu mampu memahaminya. Leibniz percaya bahwa kejahatan yang tampak di dunia ini mungkin merupakan bagian dari rencana besar yang lebih baik yang hanya dapat dipahami dalam konteks keseluruhan ciptaan Tuhan.
Mengapa kejahatan ada? Bagi Leibniz, jawabannya adalah karena dunia ini, meskipun tidak sempurna, adalah dunia terbaik yang bisa diciptakan oleh Tuhan dengan mempertimbangkan segala konsekuensi yang mungkin terjadi (Leibniz, 1710).
David Hume: Kritik terhadap Teodisi
David Hume, seorang filsuf skeptis dari Skotlandia, memberikan kritik yang tajam terhadap teodisi. Dalam karyanya Dialogues Concerning Natural Religion (1779), Hume mempertanyakan bagaimana mungkin Tuhan yang Maha Baik dan Maha Kuasa mengizinkan kejahatan dan penderitaan terjadi. Hume berargumen bahwa kehadiran kejahatan di dunia ini tidak kompatibel dengan keyakinan bahwa Tuhan adalah Maha Kuasa dan Maha Baik.
Hume mengajukan beberapa skenario yang memunculkan dilema teologis. Jika Tuhan mampu mencegah kejahatan tetapi tidak mau melakukannya, maka Tuhan tidak Maha Baik. Sebaliknya, jika Tuhan ingin mencegah kejahatan tetapi tidak mampu melakukannya, maka Tuhan tidak Maha Kuasa. Jika Tuhan baik dan berkuasa, mengapa kejahatan tetap ada?
Bagi Hume, kehadiran kejahatan di dunia menunjukkan bahwa ada ketidakcocokan antara sifat-sifat Tuhan yang diyakini oleh agama monoteis dengan realitas kehidupan yang penuh penderitaan. Dengan kata lain, mengapa kejahatan ada? Menurut Hume, jawabannya adalah karena Tuhan, sebagaimana dipahami dalam teologi tradisional, mungkin tidak ada atau tidak memiliki sifat seperti yang diyakini (Hume, 1779).
Irenaeus: Penderitaan sebagai Proses Pertumbuhan Moral
Irenaeus, seorang teolog Kristen awal, menawarkan pendekatan yang berbeda dalam menghadapi problem kejahatan. Dalam teodisi Irenaeus, kejahatan dan penderitaan dianggap sebagai bagian dari proses pertumbuhan moral manusia. Mengapa kejahatan ada? Menurut Irenaeus, jawabannya terkait dengan proses penciptaan manusia yang belum selesai.
Irenaeus berpendapat bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang belum sempurna dan masih dalam proses menuju kesempurnaan moral. Tuhan memberikan manusia kehendak bebas untuk memilih antara kebaikan dan kejahatan. Kebebasan ini sangat penting, karena tanpa kebebasan, manusia tidak dapat mengembangkan kebajikan moral seperti cinta, keberanian, dan kesabaran.
Penderitaan yang dialami manusia, menurut Irenaeus, adalah alat pendidikan moral yang digunakan Tuhan untuk membantu manusia berkembang secara spiritual. Oleh karena itu, kejahatan dan penderitaan yang ada di dunia ini bukanlah bukti ketidaksempurnaan Tuhan, melainkan bagian dari rencana Tuhan untuk memungkinkan manusia belajar dan tumbuh. Manusia, menurut Irenaeus, perlu melalui proses penderitaan untuk mencapai kesempurnaan moral yang sebenarnya (Irenaeus, 180).