Mohon tunggu...
Andi Zulfikar
Andi Zulfikar Mohon Tunggu... Freelancer - wirausahawan yang sedang usaha bangkit

Nama saya: Andi Zulfikar. peminat sejarah, politik, dan sosial-budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketuhanan dalam Pandangan Soekarno dan Natsir

19 Maret 2024   09:56 Diperbarui: 19 Maret 2024   10:08 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

SOEKARNO VS NATSIR : TAFSIR SILA PERTAMA PANCASILA

Di bulan Ramadhan seperti sekarang ini, kata para ustadz, lebih bagus diisi dengan kegiatan-kegiatan yang bernilai ibadah. Termasuk di antaranya membahas soal Ketuhanan.

Perkara Ketuhanan pernah menjadi perdebatan hangat para pendiri negeri ini lho. Tengok saja apa yang pernah dilakukan Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Natsir.

Perbandingan antara pandangan Soekarno dan Mohammad Natsir mengenai tafsir Sila Pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan perdebatan yang menarik dalam sejarah politik Indonesia.

Soekarno menekankan bahwa keberadaan Tuhan sangatlah relevan dalam masyarakat agraria, di mana kehidupan dipenuhi dengan ketidakpastian. Dalam pandangannya, petani yang hidup dalam lingkungan tersebut bergantung pada aspek spiritual dalam aktivitas sehari-harinya. Soekarno menegaskan bahwa ketergantungan pada yang gaib ini menciptakan suasana mistik dan religius di dalam masyarakat agraria.

Tuhan hanya ada dalam masyarakat agraria, masyarakat yang hidupnya penuh ketidak-pastian. "...Satu bangsa yang masih dalam stadia agraria, tidak boleh tidak mesti mistik atau religieus," ujar Soekarno dalam kuliah umum di depan para mahasiswa di Makassar, Sulawesi Selatan.

Dalam pidato yang disampaikan pada Mei 1945 itu, Presiden Soekarno lebih jauh menjelaskan, seorang petani yang mau menanam padi, cukuplah baginya sekadar melihat bintang. Lalu petani itu bisa mencangkul, menggarap, dan mohon hujan. Bukan karena petani tersebut, kata Bung Karno, mengetahui wiskundig berekening bahwa hujan akan datang.Petani hanya memohon hujan dari zat yang tidak terlihat, mohon tidak ada hama yang datang, jangan sampai belalang menghancurkan tanaman. Memohon pada yang gaib ini yang membuat masyarakat pertanian menjadi mistik dan religius.

Tafsir Soekarno atas sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, ini menuai protes dari alim ulama dan Muballighin Makassar. Alih-alih memperhatikannya, Soekarno malah mengulang-ulang atau menegaskan penafsirannya tersebut di berbagai forum. Di Istana Negara, 17 Juni 1954, di depan Anggota Gerakan Pembela Pancasila (GPPS), misalnya, Soekarno berpidatao:

"Ketuhanan (Ketuhanan di sini saya pakai dalam arti religieusiteit), itu memang sudah hidup di dalam kalbunya bangsa Indonesia sejak berpuluh-puluh, beratus-ratus, dan beribu-ribu tahun. Aku menggali dalam buminya rakyat Indonesia, dan pertama-tama hal yang aku lihat ialah religiusiteit. Apa sebab? Ialah karena bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang hidup di atas tarafnya agraria, taraf pertanian. Semua bangsa yang hidup di atas taraf agraria, tentu religeus"

Bung Karno yang kemudian ditahbiskan sebagai penggali Pancasila ini mengatakan:

"Sebaliknya, bangsa yang sudah hidup di dalam alam industrialisme, banyak sekali yang meninggalkan religiusiteit... Apa sebab? Sebabnya ialah karena ia berhadapan banyak sekali dengan kepastian-kepastian...Dalam dunia industrialisme mengatakan bahwa Tuhan tidak ada, padahal Tuhan ada. Tetapi ciptaan manusia berganti-ganti"

Penafsiran Bung Karno atas sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini, mengundang Perdana Menteri Mohammad Natsir pun unjuk bicara. Pada pidato di Konstituante, 13 November 1957, Natsir menyoroti pentingnya wahyu sebagai sumber kepercayaan dan keimanan yang abadi, tidak terpengaruh oleh faktor-faktor temporal seperti perubahan agraria, nomadis, atau industrialisasi. Baginya, Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan aspek yang melekat pada keberadaan bangsa Indonesia, tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah.

Perbedaan pandangan ini mencerminkan perdebatan yang lebih luas tentang peran agama dalam masyarakat modern. Soekarno cenderung melihat evolusi sejarah sebagai proses yang mengarah pada penurunan peran agama seiring dengan perkembangan masyarakat menuju tingkat industrialisasi. Namun, Natsir menolak pandangan tersebut.

Menurut Natsir, Tuhan telah memberikan pada manusia dasar-dasar pokok yang sesuai dengan fitrahnya, yang abadi, dan tidak berubah, yang bisa berlaku di semua tempat dan semua zaman, baik di zaman dahulu kala, maupun di zaman modern.

Jadi, Natsir menambahkan, 'Ketuhanan Yang Maha Esa' sudah menjadi darah daging bagi bangsa Indonesia, terlepas dari masa agraria atau pun masa industri, dan kini informasi. Karena itu, justru sila pertama inilah yang harusnya menjiwai sila-sila lainnya dari Pancasila.

Pandangan Soekarno, lanjut Natsir,  tak ubahnya dengan jawaban seorang sekularis yang mempertanyakan Tuhan yang baginya Ketuhanan adalah soal ciptaan manusia yang berganti-ganti.  

Tampaknya Soekarno melihat perkembangan sejarah bangsa ini secara linear dan evolusioner. Diakui atau tidak, Soekarno banyak dipengaruhi pandangan seorang Hegel (1770 - 1831). Hegel memandang tentang realitas sebagai sebuah proses sejarah yang dapat dipahami lewat kategori penjelasan historis, dimana setiap periode historis lebih hebat ketimbang periode sebelumnya. Jika awalnya manusia hidup dalam masa pengembaraan dan berburu, kemudian bekembang jadi komunitas agraria, maka kini hidup di masa industrialisasi, dan lain-lain. Sehingga pada akhirnya, pada tingkat tertinggi taraf hidupnya, manusia tak lagi membutuhkan Tuhan.

Tafsir sejarah Hegel tidaklah selalu benar. Di beberapa tempat, sebelum masa Industrialisasi, kehidupan masyarakatnya sangat maju. Teknologi mereka tak tertandingi. Segala penghitungan mereka sangat presisi. 

Sebagai bukti, sebut saja di antaranya Piramida besar Cheops di Giza yang volumenya sekitar 2.515.000 meter kubik, memiliki ketinggian 147 meter, dan garis alasnya 230 meter. Struktur ini membutuhkan penggalian dan pemotongan enam juta buah batu, transportasinya, pengumpulannya, dan peletakkannya dengan cara yang menantang berabad-abad mendatang.

Selain itu ada lagi teknologi sipil dan arsitektur masyarakat Iram yang hidup pada masa Nabi Hud. Mereka membangun kota di atas pilar-pilar tinggi nan indah. (Keberadaan kota ini baru ditemukan pada 1992 oleh seorang arkeolog amatir asal Amerika, Nicholas Clapp)

Pun dengan teknologi bendungan yang dimiliki kaum Saba' yang tingginya 16 meter dan lebarnya 60 meter, serta panjang 620 meter. Dam ini menjadi sumber pengairan bagi lahan seluas 9.600 hektar. (Bendungan dan sistem irigasi masyarakat Saba' ditemukan J. Holevy dari Prancis dan Glasser dari Austria). 

Namun dua kelompok masyarakat terakhir beserta bangunan-bangunannya luluh lantak. Mereka adalah masyarakat maju yang mencoba menafikkan keberadaan Tuhannya.

Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu) melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir. (QS. 34:17)

Tentu saja, Soekarno tidak ingin negara dan bangsa yang dibangunnya ini akan bernasib sama dengan kaum Nabi Hud dan masyarakat Saba'. Natsir percaya, Soekarno tetaplah seorang muslim yang baik, namun khilaf. Mungkin Soekarno terlewat membaca Qur'an Surat Ar-Rum (30) : 9

Dan tidaklah mereka berpergian di bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul)? orang-orang itu lebih kuat dari mereka (sendiri) dan mereka telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya melebihi apa yang telah mereka makmurkan.

Dalam konteks ini, penting untuk mencatat bahwa debat ini tidak hanya berkaitan dengan pandangan politik, tetapi juga menyoroti peran agama dalam memandu nilai-nilai dan kepercayaan dalam sebuah negara. Meskipun pandangan Soekarno dan Natsir memiliki perbedaan yang signifikan, keduanya berusaha membangun dasar yang kuat bagi identitas dan kesatuan bangsa Indonesia melalui Pancasila.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun