Saya punya uang. Tapi saya bingung mau buat apa. Akhirnya saya putuskan buat beli kasur. Saya sudah muak tidur di lantai beralaskan tikar dan daun jati. Macam di tengah hutan saja. Maka ketika tiba-tiba teringat tentang benda empuk itu saya berpikir saya harus membelinya.
Dahulu, pertama kali merantau di Cikarang, saya memang cuma dan terbiasa tidur di lantai. Tiga tahun kemudian meski saya punya uang, saya tak pernah memikirkan kata kasur dalam kamus verbal saya. Kasur menurut saya tidak penting-penting amat. Jika kau lelah, kau tinggal tidur. Dan kebisaan itu berlangsung hingga kini.
Tapi entah kenapa kasur akhir-akhir ini masuk dalam daftar kebutuhan primer saya. Lalu tepat sebelum kumandang adzan dhuhur didengungkan saya pergi ke pasar. Seorang diri. Saya suka melakukan semua hal sendiri.
Saya memarkir kendaraan lalu mendatangi toko kasur seorang diri. Melangkah dengan gaya yang, seolah-olah ini adalah hari terbaik saya untuk memulai.
Saya mulai masuk toko pertama yang terletak di pojok dan bertanya pada pelayannya, "Apa di sini ada jual kasur?"
Pelayan itu mengernyitkan kening. Nampak keriput di matanya, keningnya dan pipinya. Lalu dari olah vokal dan napas yang bagus ia berteriak, "Kalau kau datang ke Pom Bensin dan bilang apakah di sini ada bensin, menurutmu apa jawaban mereka?"
"Baiklah," jawab saya. "Jangan terlalu serius."
Pelayan itu diam saja seolah sedang merancang niat buruk. Mungkin dikepalanya sedang merencanakan memakan saya. Tapi karena dia puasa, dia ingin menundanya sampai magrib. Saya harus cepat kabur. Sebelum magrib.
Saya datangi toko kedua. Toko kedua, pelayannya jauh lebih ramah ketimbang yang pertama. Sayangnya dia berkata terlalu muluk dan menggebu-gebu seperti mahasiswa yang sedang berorasi yang ingin setiap kata-katanya didengar dan dipertimbangkan.
Saya pindah ke toko ketiga. Toko itu kecil dan tidak ada kipas angin yang bisa mendinginkan suhu ruangan yang biasa kita lihat di semua toko termasuk toko kipas angin itu sendiri. Pelayannya seorang lelaki. "Kasur apa yang Mas cari?"
"Saya mencari kasur yang empuk dan mudah dipindahkan kalau saya mau."
"Bagaimana kalau kasur lipat?"
"Apa keunggulannya?"
"Kasur ini empuk. Mudah dibersihkan. Terus memungkinkan bagi para pemakainya bermimpi lebih lama ketimbang yang dia mau."
"Berapa harganya?"
"350."
"Saya punya nasihat. Dalam bulan puasa ini orang-orang berlomba-lomba buat kebaikan. Mereka menginginkan pahala besar."
"Oke. Harganya turun jadi 250."
"Deal."
"Deal." Kami bersalaman tanda sepakat.
"Ada lagi yang dibutuhkan?"
"Tidak ada."
"Bantal misalnya?"
"Saya biasa berbantal pakai lengan."
"Lengan istri?"
"Lengan sendiri."
"Sayang sekali. Padahal kasur lipat ini sangat cocok kalau digunakan dua orang."
"Saya punya boneka."
"Orang ya, bukan boneka!"
"Oke, orang bukan boneka. Lain kali saya pasti akan mendapatkan orang itu."
"Semoga berhasil," katanya mengakhiri, dan juga selesai membungkus.
Saya bayar kasur itu dan cepat pulang.
***
Di tengah-tengah perjalanan pulang membawa kasur itu saya bertemu seorang teman. Di lampu merah. Teman lama. Dia bertanya kepada saya, benda apa yang sedang saya bawa. Namun alih-alih bertanya pada saya, teman saya itu justru terlihat sedang bercakap-cakap dengan kasur saya. Kalau saja kasur saya itu memiliki muka, mungkin muka mereka terlihat sedang berhadap-hadapan. Saya tidak jawab pertanyaannya itu. Kau tak boleh menjawab sesuatu yang jelas-jelas tidak ditanyakan oleh orang lain.
"Kau bawa apa? Apa ini kasur?" tanyanya lagi. Nah, batin saya, itu baru benar. Tapi belum cukup benar.
"Kalau kau pergi ke Pom Bensin dan bertanya pada petugasnya: apa ini bensin? Kira-kira apa yang mereka katakan?"
Dia tidak peduli dengan asumsi saya. Dia meneruskan, "Sedih ya jadi jomblo. Kalian harus melindungi diri dari kesepian dan rasa dingin di balik kasur ini."
"Apa hubungannya?" tanya saya pura-pura sakit hati.
"Hubungannya. Kami yang sudah menikah tak perlu-perlu amat benda semacam ini. Kami bisa tidur dimana saja. Di sembarang tempat. Dan di sembarang tempat semua terasa enak."
Teman saya itu memang baru saja menikah. Bulan Maret lalu. Jadi bukan hal aneh jika tiba-tiba saja saya  mungkin akan mendengar kata-kata misalnya: sepiring berdua, setikar berdua dan lain sebagainya. Namun karena saya tak ingin mendengar kata-kata itu keluar begitu saja dan pada akhirnya akan menyelinap ke dalam kuping saya, akhirnya saya meninggalkannya. Lagi pula, lampu lalu lintas sudah menunjukkan warna hijau. Dan memang, sebelum saya benar-benar sakit hati, mungkin saya akan tetap meningalkannya. Tidak peduli apakah itu lampu merah, hijau, kuning, bahkan abu-abu sekali pun.
Saya pernah membaca sebuah cerita yang mengisahkan tentang seseorang yang gemar menerobos lampu merah. Telusur punya telusur, ternyata seseorang itu sedang sakit hati karena tuhan memberinya nasin buruk sedang batu di pekarang rumahnya mendapatkan nasib baik. Menurutnya, batu itu tetap menjadi batu. Yang tak perlu menjalani pekerjaan apa-apa, atau tak perlu menerima penghinaan apa-apa, atau sebagainya. Pokoknya lelaki itu sakit hati.
Cerita fiksi memang konyol dan sebagian tak bisa dipercaya. Namun bukankah itu masuk akal?
Baiklah saya harus cepat pulang.
Saya pulang dan masuk ke dalam rumah dan di depan pintu, tepatnya di ruang tengah, ibu saya sudah menyambut saya dengan pertanyaan sepele. "Apa itu Caius?"
Saya langsung jawab. "Hari ini gak ada lelucon lagi, Bu. Ini kasur."
Ibu saya cuma melongo menyaksikan saya masuk ke dalam kamar.
Maafkan saya, kata saya dalam hati. Lalu menggelar kasur itu, kasur lipat yang baru saja saya beli. Lalu menidurinya seperti kekasih. Lalu berusaha tidur dan berharap bermimpi.
Di dunia nyata orang-orang menyakiti saya. Namun di dunia mimpi, sebaliknya, saya menyakiti orang-orang. Namun harapan terakhir kali saya ini, semoga hari ini saya tidak melakukan hal-hal memalukan semacam itu.
Andi Wi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H