Di tengah-tengah perjalanan pulang membawa kasur itu saya bertemu seorang teman. Di lampu merah. Teman lama. Dia bertanya kepada saya, benda apa yang sedang saya bawa. Namun alih-alih bertanya pada saya, teman saya itu justru terlihat sedang bercakap-cakap dengan kasur saya. Kalau saja kasur saya itu memiliki muka, mungkin muka mereka terlihat sedang berhadap-hadapan. Saya tidak jawab pertanyaannya itu. Kau tak boleh menjawab sesuatu yang jelas-jelas tidak ditanyakan oleh orang lain.
"Kau bawa apa? Apa ini kasur?" tanyanya lagi. Nah, batin saya, itu baru benar. Tapi belum cukup benar.
"Kalau kau pergi ke Pom Bensin dan bertanya pada petugasnya: apa ini bensin? Kira-kira apa yang mereka katakan?"
Dia tidak peduli dengan asumsi saya. Dia meneruskan, "Sedih ya jadi jomblo. Kalian harus melindungi diri dari kesepian dan rasa dingin di balik kasur ini."
"Apa hubungannya?" tanya saya pura-pura sakit hati.
"Hubungannya. Kami yang sudah menikah tak perlu-perlu amat benda semacam ini. Kami bisa tidur dimana saja. Di sembarang tempat. Dan di sembarang tempat semua terasa enak."
Teman saya itu memang baru saja menikah. Bulan Maret lalu. Jadi bukan hal aneh jika tiba-tiba saja saya  mungkin akan mendengar kata-kata misalnya: sepiring berdua, setikar berdua dan lain sebagainya. Namun karena saya tak ingin mendengar kata-kata itu keluar begitu saja dan pada akhirnya akan menyelinap ke dalam kuping saya, akhirnya saya meninggalkannya. Lagi pula, lampu lalu lintas sudah menunjukkan warna hijau. Dan memang, sebelum saya benar-benar sakit hati, mungkin saya akan tetap meningalkannya. Tidak peduli apakah itu lampu merah, hijau, kuning, bahkan abu-abu sekali pun.
Saya pernah membaca sebuah cerita yang mengisahkan tentang seseorang yang gemar menerobos lampu merah. Telusur punya telusur, ternyata seseorang itu sedang sakit hati karena tuhan memberinya nasin buruk sedang batu di pekarang rumahnya mendapatkan nasib baik. Menurutnya, batu itu tetap menjadi batu. Yang tak perlu menjalani pekerjaan apa-apa, atau tak perlu menerima penghinaan apa-apa, atau sebagainya. Pokoknya lelaki itu sakit hati.
Cerita fiksi memang konyol dan sebagian tak bisa dipercaya. Namun bukankah itu masuk akal?
Baiklah saya harus cepat pulang.
Saya pulang dan masuk ke dalam rumah dan di depan pintu, tepatnya di ruang tengah, ibu saya sudah menyambut saya dengan pertanyaan sepele. "Apa itu Caius?"