Matahari sangat terik. Saya adalah debu yang mengambang di atas permukaan langit. Dulu saya pernah membaca kalau manusia itu cuma makhluk kecil di antara alam semesta ini. Yah, sekarang saya menyaksikan sendiri kalimat itu benar-benar adanya. Hanya saja, bedanya, dulu kita melakukannya dengan banyak amat buruk dan rasa takut. Setelah menjadi debu, saya kira, ternyata gambarannya tak semenakutkan itu.
Lihatlah saya. Saya debu, saya tubuh yang dulu terkumpul dari kolaborasi debu-debu dan kini saya terpecah tanpa nama, tanpa identitas.
Saya mengambang, tak pernah takut ketakutan macam-macam. Tak ada rasa dingin yang saya rasakan. Tak ada kesepian, tak ada kebahagiaan, tak ada cita-cita, tak ada yang mendengar.
Lihatlah saya, di sini. Tiba-tiba di sini. Jiwa yang abadi. Melayang-layang di atas rumahmu, menempel di permukaan rambutmu, terhempas di ujung hidungmu; menyelinap di pelupuk matamu; tidak menderita karena merasa tersaingi, tidak bersedih karena patah hati, tidak memiliki tenggat apa pun. Namun sepenuhnya baik-baik saja. Karena saya abadi. Saya debu.
Saya debu.
Dulu, semasa masih hidup, saya amat takut ketika mati nanti saya akan dilupakan oleh orang lain. Tapi kini saya tahu, itu tak masalah lagi. Sebab saya juga sebenarnya tak akan ingat, siapa mereka. Siapa mereka yang ketika saya jumpai sedang melamun, matanya memandang kosong ke udara, seolah-olah ada sesuatu yang menuntut perhatiannya; memandangku dan tiba-tiba menangis.
***
Terinspirasi lagu Dream Theater dengan judul sama, tentang kematian: The Spirit Carries On
Andi Wi
15 Januari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H