Sebab aku mengira mungkin inilah hari terakhir aku bisa melihatnya tertawa. Aku mungkin tak akan melihatnya tertawa seceria itu. Yah, maka aku harus. Mengambil inisiatif segera mengabadikan tawanya itu.
Aku lekas-lekas merekam tawanya di kepalaku, merekam ekspresi bibirnya, dahinya, pipinya yang berkerut ketika ia sedang tertawa.
Aku buru-buru memindai perangai Kalani di arsip pikiranku ketika ia hari ini ia tertawa.
Kelak aku tahu betul, aku membutuhkan tawa cerianya itu untuk menghibur diriku sendiri ketika kesepian. Ketika dia tak lagi berada di sampingku. Ketika dia tak berada di sampingku seperti hari ini.
Mengingat kami sudah berpisah, aku tak yakin apa yang bisa kupastikan di masa mendatang. Pertemuan dan perpisahan, dua hal yang berbeda. Meski begitu kurasa keduanya sama-sama sebuah program yang dikemas dalam bentuk permainan.
Aku dan Kalani adalah korban. Tikus-tikus malang itu. Yang tak sengaja melongokkan kepalanya, ingin melihat matahari bersinar, udara bersih, namun tiba-tiba sesuatu memergoki kami, menggetok ubun-ubun kami. Memukul kami.
Aku sudah muncul. Dan kurasa ingin segera menarik leherku, tapi tak bisa. Aku sudah kepergok.
Andi Wi
Ajibarang, 29 Desember 2017