Sikat masih tidur di dalam selimutnya.
Oh ya. Sekedar tambahan. Sejak kecil aku sangat menyukai kebersihan. Ibuku yang mengajari. Dan malam itu mungkin karena aku terlalu bersemangat untuk meneladani sikap baik yang sering dicontohkan oleh ibuku, aku menyiram lubang toilet dengan terlalu banyak air. Sehingga hal itu justru memancing rasa ingin tahu Sikat untuk bangun dan menyelidiki. Dia muncul begitu saja di mulut pintu kamar mandi dengan muka heran sekaligus malu dan kurasa amat marah.
Terus terang. Ini bukan kali pertama aku melakukannya. Sudah sering. Tapi sebagaimana tupai melompat ia bakal jatuh juga.
Aku mengembalikan celana dalam Sikat ke dalam ember berisi pakaian-pakaian kotornya lagi. Seperti anak kecil yang siap dimarahi oleh ibunya. Aku menunggu reaksi Sikat sambil sesekali mengedipkan mata untuk memperjelas penglihatanku. Akan tetapi dua menit selama dia berdiri di situ, tak ada lontaran kata-kata atau tanggapan apa-apa. Maka aku mengambil inisiatif. Berjalan ke arahnya sambil permisi. Dia membukakan jalan untukku.
Tak ada kemarahan apa-apa. Kupikir dia bakal marah besar kepadaku.
Aku kembali ke dalam selimutku dan berusaha tidur. Namun usahaku terlalu payah. Tak lama. Dua menit kemudian, kudengar seseorang di seberang ranjangku menangis tersengguk-sengguk.
Apa yang harus kulakukan? Oke. Besok aku akan meminta maaf padanya.
Hmm. Tapi mengapa harus menunggu sampai besok? Entahlah.
***
Keesokan harinya, aku bangun lebih awal dari jam wekerku. Duduk di tepi ranjang sebentar sampai tanpa kusadari gawaiku berdering. Dari Sikat.
Aku tahu. Dia sudah tak ada di ranjangnya. Kemarin dia berjanji akan pergi pagi-pagi sekali dan dia mengatakannya lebih dulu karena dia tak ingin mengganggu tidurku. Dia baru akan menelpon setelah tepat pukul biasa aku bangun pagi.