Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menemani Tuan di Beranda

25 September 2017   06:41 Diperbarui: 25 September 2017   06:52 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Setelah menunggu dua belas jam dua puluh lima menit lamanya waktu berputar, pagi hingga malam hari saya menanti dan menunggu agak tidak menanti, akhirnya dia kembali. Sebetulnya saya tidak terlalu khawatir jika pun dia tidak muncul-muncul seperti seharusnya manusia lakukan sebagai mana manusia menemukan intim kemanusiaannya.

Dia bisa saja pergi ke tempat jauh di luar jangkauanku. Terserempet mobil, didaku pencuri oleh warga sekampung, menjadi korban ledak berkeping-keping bom bunuh diri, atau bisa juga, dibunuh kelambatan detak jantungnya sendiri sebelum  sempat menanggalkan celana dalamnya di rumah.

Meskipun kecil kemungkinannya hal-hal semacam itu jarang terjadi. Namun memangnya makhluk macam apa dia, sehingga bisa dengan mudah terhindar dari bencana-bencana kecil dan bahaya besar. Dan bukankah kesempatannya selalu sama bagi setiap mereka yang juga sama sekali tak memiliki kesempatan? Um. Kalo itu pertanyaannya, saya pun sering memikirkannya. Tapi kali ini sebaiknya saya mesti berhenti memikirkannya. Sebab sudah jelas. Tugas saya mendengarkan. Bukan memberi solusi. Seperti yang sepatutnya tugas yang diemban seonggok asbak meja di teras rumah. 

Jadi itulah saya. Seekor monyet kecil kayu yang diukir duduk di pinggir asbak. Dengan kedua telinga super lebar, bulu yang tipis, dan selalu nampak merenung. Yang kira-kira oleh pembuatnya ditempel di situ untuk menambah nilai astistik, dan saya rasa untuk mendengarkan sang majikan ketika mereka sedang butuh seorang teman bercakap-cakap seorang sendiri.

Dia sudah kembali. Dan sudah jadi tugas saya untuk mendengarkan isi pikirannya, di banding menerangkan, "Kalo kamu jadi manusia, aduh, betapa gampangnya dipermainkan spekulasi banyak hal: untung-rugi, bahagia-sedih, memberi-menerima, keriuhan-kehampaan, ranting-cabang, isi atau kosong dari pada yang didapatkannya."

Saya membantu, diam sedingin angin yang tak bergerak menatap hamparan lukisan alam di depan mata saya. Siap mendengarkan tuannya.

Tuan saya menaruh secangkir kopi di sisi saya. Lalu meloloskan sebatang rokok dari bungkusnya dan tiba-tiba terdengar pematik api dinyalakan sebanyak lima kali sebelum akhirnya saya bisa melihat asap putih menyembur ke udara di depan saya. Apa yang akan dia katakan?

"Sungguh mengherankan. Aku tak tahu apa yang bisa membuatku bahagia. Apa itu kekurangan? Apa itu kelebihan? Apa itu kutukan, apa itu berkah? Betul-betul tidak masuk akal. Aku tak bisa merasakan humor yang tiba-tiba dilontarkan oleh seseorang, sahabat, teman sekantor, atau keangkuhan benda mati seperti asbak, atau secangkir kopi pahit di sisi manisnya. Kupikir, kesedihanku terlalu reseh, juga miskin, jika memang berniat ingin membandingkan penderitaanku sendiri dengan kesusahan yang sedang dialami orang lain. Yang punya banyak cicilan hutang, istri yang cerewet, atau melakukan pekerjaan yang dibencinya. Aku tak punya hutang, istriku yang cerewet baru saja pergi, atau punya masalah serius dengan pekerjaanku. Semuanya berjalan baik dan aman-aman saja. Namun mengapa aku susah sekali tertawa, berbahagia dengam tulus seolah tersentuh oleh keadaan lucu, yang seakan-akan aku bisa merasa beruntung jika mendapatkannya?"

Tuan saya bercerita. Itulah kalau Tuan saya sudah bercerita. Entah apa yang dipikirkannya. Dia senang bicara sendiri, --meskipun ada saya di sampingnya, namun bukankah saya ini tak lebih dari sekedar benda mati? Dia bicara sendiri dan bertanya-tanya sendiri.

"Mungkin karena belakangan ini aku sedang mengalami kemrosotan diri yang parah sekali ya? Satu bulan penuh tak pernah cukup untukku menyadarinya namun lima bulan kemudian aku baru menyadarinya, aku yang salah. Namun, mengapa waktu itu, aku sama sekali tak merasa bersalah pada mereka? Sehingga ketika ini semua terjadi rasanya menjadi begitu terlambat untuk disesali?"

Terlambat? Menyesal? Batin saya. Bukankah itu semua memang cara kerja waktu. Senang bikin manusia merasa terlambat, lantas pada akhirnya menyesal? Ah, Tuan, kalau saja saya boleh menyela ucapan-ucapan tak berdasar Tuan.

"Oh. Tunggu. Memang kan, itu yang seharusnya mereka dapatkan? Mereka sudah menelantarkanku sebagai anaknya.... Dan apa kata yang cocok buat menggambarkan orang tua semacam itu?"

Ih. Pertanyaan lagi, tuan.

"Orang tua itu juga seharusnya menyadari kesalahannya. Bukan hanya aku. Bukan malah mengutuk aku kalau 'selamanya aku tak akan merasakan bahagia'. Dengan bentak-bentak lagi. Sialan betul."

Orang tua? Maksud Tuan, Ibu dan Ayah, Tuan? Mereka marah-marah pada Tuan?

"Padahal aku cuma minta dinikahkan sama Lastri. Aku tahu. Oh, aku tahu. Dia itu memang wanita penghibur. Namun apa yang salah dengan menjadi wanita penghibur? Kupikir dia masih punya cinta, cinta yang tulus dan kesetiaan sebagaimana yang diperoleh dari ibunya dan ibunya dan ibunya ibunya yang jauh. Yakni: Hawa. Apa aku tak boleh percaya dengan Siti Hawa? Dia wanita setia. Itulah reputasi yang pernah kudengar darinya."

Boleh tuan. Siapa yang melarang. Cuma ya, mungkin, kalo Ibu atau Ayah Tuan mendengar bahwa wanita yang ingin menjadi istri Tuan itu Hawa. Hawa langsung. Bukannya Lastri, si pelacur itu.

"Tapi, mereka...." Terdengar suara sayup-sayup.

Tuan? Jangan menangis. Jangan.

"Tapi. Mereka ada benarnya juga. Lastri cuma menginginkan uangku. Bukan cintaku. Aku seharusnya mendengarkan kalian berdua di bulan-bulan pertama ketika aku belum benar-benar jatuh cinta padanya dan delapan bulan berikutnya ketika aku mengatakan ingin menikah dengannya sampai kalian tak perlu lah menyumpahiku kalau aku berani kawin lari, aku tak akan bahagia selamanya."

Oh. Jadi itu alasan Tuan akhir-akhir ini tidak bahagia? Terus terang, saya juga sebetulnya tak bahagia. Tapi kebalikannya sih, saya justru amat bahagia dengan ketidakhadiran Lastri di keluarga kita. Dia orang yang kasar. Dia sering membanting-banting saya ke berbagai sudut rumah. Membuat kepala saya pening dan merasa hampir pecah. Untung saya ini terbuat dari kayu aren. Jadi saya tak mudah pecah. Namun, peristiwa satu minggu lalu bukanlah kejadian yang gampang dilupakan. Dia begitu marah, lantas karena saya berada didekatnya, dia meraih gundul kepala saya dan membenturkannya sebanyak tiga kali ke suatu sudut tumpul dengan sangat keras. Begitu keras. Sampai-sampai saya merasa kepala saya ingin pecah saja. Dan betul. Gundul kepala saya memang berdarah. Namun ternyaa bukan kepala saya lah yang sebetulnya berdarah, melainkan kepala tuan!

Kepala saya sangat pening waktu itu, dan dengan mata berkunang-kunang, saya melihat tuan tersungkur di bawah kaki meja. Mungkin pingsan. Atau apalah. Sementara dari celah kamar, saya dapati dia mengemasi barang-barang favoritnya. Untuk kemudian dia bergegas melewati saya, menghempaskan daun pintu rumah ini begitu kuat dan kasar sehingga setelah satu menit kepergiannya suara pengang itu masih belum hilang di telinga saya.

"Yah, seharusnya, aku menyadarinya. Mengapa aku kurang mendengarkan pendapat mereka dengan cermat dan malah semakin membesarkan ambisi binatangku. Hingga sekarang sumpah itu betul-betul terjadi. Aku tidak bahagia. Aku tidak akan bahagia."

Tuan, jangan sedih. Tuan, jangan sedih  Minta maaflah pada mereka. Sekalipun itu mustahil dilakukan karena mereka sudah tak ada. Pergi ke tanah murni. Tapi, Tuan, setidaknya penuhilah rasa bersalah itu. Bukan karena sudah merasa terprovokasi oleh yang berlebihan dan mengabaikan kesederhanannya. Akan tetapi sebagai manusia, Tuan, tidak pernah bisa hidup dari terus-menerus dihantui rasa bersalah. ***

Ajibarang, 25 September 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun