Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menemani Tuan di Beranda

25 September 2017   06:41 Diperbarui: 25 September 2017   06:52 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Oh. Tunggu. Memang kan, itu yang seharusnya mereka dapatkan? Mereka sudah menelantarkanku sebagai anaknya.... Dan apa kata yang cocok buat menggambarkan orang tua semacam itu?"

Ih. Pertanyaan lagi, tuan.

"Orang tua itu juga seharusnya menyadari kesalahannya. Bukan hanya aku. Bukan malah mengutuk aku kalau 'selamanya aku tak akan merasakan bahagia'. Dengan bentak-bentak lagi. Sialan betul."

Orang tua? Maksud Tuan, Ibu dan Ayah, Tuan? Mereka marah-marah pada Tuan?

"Padahal aku cuma minta dinikahkan sama Lastri. Aku tahu. Oh, aku tahu. Dia itu memang wanita penghibur. Namun apa yang salah dengan menjadi wanita penghibur? Kupikir dia masih punya cinta, cinta yang tulus dan kesetiaan sebagaimana yang diperoleh dari ibunya dan ibunya dan ibunya ibunya yang jauh. Yakni: Hawa. Apa aku tak boleh percaya dengan Siti Hawa? Dia wanita setia. Itulah reputasi yang pernah kudengar darinya."

Boleh tuan. Siapa yang melarang. Cuma ya, mungkin, kalo Ibu atau Ayah Tuan mendengar bahwa wanita yang ingin menjadi istri Tuan itu Hawa. Hawa langsung. Bukannya Lastri, si pelacur itu.

"Tapi, mereka...." Terdengar suara sayup-sayup.

Tuan? Jangan menangis. Jangan.

"Tapi. Mereka ada benarnya juga. Lastri cuma menginginkan uangku. Bukan cintaku. Aku seharusnya mendengarkan kalian berdua di bulan-bulan pertama ketika aku belum benar-benar jatuh cinta padanya dan delapan bulan berikutnya ketika aku mengatakan ingin menikah dengannya sampai kalian tak perlu lah menyumpahiku kalau aku berani kawin lari, aku tak akan bahagia selamanya."

Oh. Jadi itu alasan Tuan akhir-akhir ini tidak bahagia? Terus terang, saya juga sebetulnya tak bahagia. Tapi kebalikannya sih, saya justru amat bahagia dengan ketidakhadiran Lastri di keluarga kita. Dia orang yang kasar. Dia sering membanting-banting saya ke berbagai sudut rumah. Membuat kepala saya pening dan merasa hampir pecah. Untung saya ini terbuat dari kayu aren. Jadi saya tak mudah pecah. Namun, peristiwa satu minggu lalu bukanlah kejadian yang gampang dilupakan. Dia begitu marah, lantas karena saya berada didekatnya, dia meraih gundul kepala saya dan membenturkannya sebanyak tiga kali ke suatu sudut tumpul dengan sangat keras. Begitu keras. Sampai-sampai saya merasa kepala saya ingin pecah saja. Dan betul. Gundul kepala saya memang berdarah. Namun ternyaa bukan kepala saya lah yang sebetulnya berdarah, melainkan kepala tuan!

Kepala saya sangat pening waktu itu, dan dengan mata berkunang-kunang, saya melihat tuan tersungkur di bawah kaki meja. Mungkin pingsan. Atau apalah. Sementara dari celah kamar, saya dapati dia mengemasi barang-barang favoritnya. Untuk kemudian dia bergegas melewati saya, menghempaskan daun pintu rumah ini begitu kuat dan kasar sehingga setelah satu menit kepergiannya suara pengang itu masih belum hilang di telinga saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun