Saya sebenarnya ingin kabur
Karena saya merasa harus kabur
Tujuan saya adalah tidak boleh menengok
Tapi tidak bisa. Saya merasa punya mata
di belakang kepala saya, sehingga
pun jika saya pergi, saya hanya kan menambah
kebingungan saya sendiri
Saya mempercayai mata depan saya
dilain itu, saya juga mempercayai
mata belakang kepala saya satunya
Mata depan akan menuntun saya ke depan
sementara mata belakang
memandu saya berjalan ke arah sebaliknya
saling menarik-saling membisikkan
membikin saya bingung, hingga
menahan langkah kaki saya berayun
tak bisa kabur
Saya berdiri di trotoar. Kadang-kadang
saya ingin melihat apa yang terjadi
di depan sana, namun mata belakang saya
tak kalah penasaran membujuk untuk tidak ke sana
ditambah kata-katamu sempat
kau ucapkan pada saya tempo dulu:
"Jika kau lelah, dan
kepalamu bagai keledai yang
tak henti-hentinya menarik
gerobak barang, anak nakal, pulanglah!"Â
Pulanglah ke dadaku. Karena
Aku ingin persilakan kau duduk
dan menarik napas.
Akhir-akhir ini, aku rindu
meja dapur dua kursi
dengan kipas angin Â
dan kau di tengah-tengahnya
Aku-sudah kusisakan bagianmu
sepotong ikan asin
sekubus tahu goreng dan
sambal kesukaanmu
Pintunya tak pernah terkunci.
Hujan lebih panjang dari malam itu sendiri
aku selalu
diserang pertanyaan ini itu
apa yang akan kuperbuat tanpamu
aku yang salah, waktu itu
Aku mencintai dua orang
sekaligus: diriku sendiri dan dirimu
dan itu terlalu banyak,
katamu. Aku tahu. Kita tak pernah ingin berbagi
Anak nakal, pulanglah! kembalilah ke dadaku
Saya mendengar kalimat terakhir itu
jelas-jelas  memanggil,
"Anak nakal... Pulanglah!
Sebelum kau menggigil!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H