Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Belahan Jiwa

22 Maret 2017   01:22 Diperbarui: 23 Maret 2017   10:00 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pinterest.com

laguIa duduk-duduk saja di beranda rumahnya. Seorang diri. Sesekali ia terbatuk kecil karena paru-parunya yang tercemar sejak 40 tahun lalu, semenjak ia mulai belajar merokok. Padahal seminggu sebelum itu, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk berhenti merokok. Ia memang melakukannya.  Tapi sayang, usahanya terlalu lemah hingga hari ini ia mulai merokok lagi.

Istrinya, Nyonya Gofman, paling pintar membuang-buang kalimat, alih-alih menasehatinya untuk berhenti merokok. Dan ketiga anaknya yang hampir seminggu sekali ke rumahnya, sesekali mengatakan, “Ayah seharusnya berhenti menyakiti diri sendiri.” Begitu ujar mereka.

Tuan Gofman tidak akan menjawab. Ia adalah lelaki 50 tahun yang pendiam. Beberapa hal memang ia rahasiakan dari orang lain, termasuk dari dirinya sendiri.

Rombongan burung melintas di kepalanya dan membentuk lukisan yang aneh namun wajar. Tuan Gofman mendongak, lalu bertanya-tanya dalam hatinya, “Hari apa sekarang, Lis?”

Lis, adalah nama panggilan istri tercintanya. Yang dikubur seminggu lalu. Belakangan Tuan Gofman mengira ini pasti terjadi. Apa pun yang terjadi. Tuan Gofman siap. Hanya saja ya ia belum rela-rela amat jika harus kehilangan belahan jiwanya, teman debatnya, lawan sepadannya di atas ranjang, selama 25 tahun belakangan ini. Teman mengaji sekaligus teman menguji.

Di ulang tahun mereka yang ke 45, pasangan itu sepakat saling memberikan satu sama lain sebuah kain kafan sebagai hadiah ulang tahun untuk pasangannya. Itu sepenuhnya adalah ide Tuan Gofman, yang tercetus begitu saja saat mereka makan malam. Entah apa yang mengganggu pikiran Tuan Gofman, sehingga, ia sanggup berpikir, itu adalah kado ulang tahun yang paling menarik dalam lintasan kepalanya. 

Usia Tuan Gofman 5 tahun lebih tua ketimbang istrinya. Mengingat probabilitas ini, tentang kematian, ia berpikir, kalau pun datang waktunya memisahkan mereka, tentu, A, kesempatan itu jauh lebih besar memihak kepada dirinya lebih dulu. Lagi pula, B, selama ini Istrinya terlalu sehat untuk bisa terus mengurusnya yang terus-terusan sakit-sakitan melulu. “Kalau ada yang lebih menemui malaikat maut, Lis, tentu aku. Bukan kau,” ujarnya meyakinkan Istrinya itu.

Di meja makan. Televisi sedang menyiarkan berita politik yang sungguh berisik.

“Jangan ngaco, ah!” Istrinya menimpali santai.

Nyonya Gofman memang senantisa terdengar manis, selain dia adalah orang yang optimis, adalah alasan Tuan Gofman menjadikan wanita itu sebagai istrinya.

“Aku ingin mati lebih dulu daripada kamu. Aku ingin kau yang mengurus jenazahku, aku ingin kau memandikanku terakhir kali, mendandaniku dan memberiku minyak wangi. Lalu aku akan menunggumu dengan damai di lubangku. Aku ingin hanya kau yang menangisiku terakhir kali, setelah seminggu anak-anak kita sedih dan melupakan aku.”

Nyonya Gofman berhenti menguyah berkedel di mulutnya. Ia tidak heran apa yang disampaikan suaminya itu. Menjelang usia lanjut, suaminya memang sering melakukan hal-hal aneh. Menyampaikan hal konyol dan aneh.  Dua hari sebelum itu, bahkan suamaninya pernah kepergok tidur di bawah kolong tempat tidur. Saat ditanya, ia menjawab ingin merasakan sensasi sesunyi gelap.

“Jika kau sudah selesai, aku ingin berterus terang denganmu,” ujar Nyonya Gofman, yang menyadari sejak sore suaminya itu menghilang di rumahnya sendiri. Lalu setelah merasa lelah mencari, Nyonya Gofman akhirnya masuk ke dalam kamar, berbaring di atas ranjang kamarnya, menatap langit dan dua ekor cicak, sambil pikirannya terus menebak dimana belahan jiwaku itu.

Saat Nyonya Gofman  sedang melamun begitu, ia mendengar suaminya terbatuk. Ternyata belahan jiwanya selama ini ada di bawah dirinya sendiri. Tak jauh dari inderanya. Nyonya Gofman, melongokkan kepalanya ke bawah ranjang, suaminya balik menatapnya, mata itu bersinar seperti mata anak kucing di tengah kegelapan.

Lantas suaminya setengah berteriak mengatakan, “Tolong ambilkan aku selimut!” pekiknya.

Nyonya Gofman melemparkan kain kafan kepada suaminya itu, yang selama ini bersikeras menggunakan kain kafan sebagai alat untuk selimutan. Biar enggak kaget katanya, Dan aku sudah lebih dari siap. Itu alasan konyol yang suaminya ungkapkan saat ditanya mengapa kau harus melakukan itu. Meskipun sedikit jengkel, tapi Nyonya Gofman adalah istri yang patuh. 

Lantas Nyonya Gofman menyalakan obat nyamuk di sisi suami tercintanya itu. 

Dan keesokan harinya suaminya berkata soal kematian lagi.

“Manusia tak pernah belajar apa-apa soal kematian,” ujar suaminya.

Nyonya Gofman hanya bergeming, sibuk mengelus-ngelus kucing di pangkuannya. Ia telah menghabiskan makan malamnya.  “Jika kau tak mau berhenti bicara soal kematian itu lagi, aku janji akan membiarkanmu digigit nyamuk!”

“Seandainya.... Ah, kalau boleh, aku ingin jangan kau yang mati lebih dulu dari pada aku!”

Nyonya Gofman tidak berkata apa-apa.

 “Aku tidak sekuat dirimu. Aku tak akan kuat jika kau meninggalkaku!”

“Aku sudah bersamamu bahkan lebih dari separuh usiaku ketika sendiri. Tidak. Ini terlalu kejam.”

“Lagi pula mengapa ada orang yang meninggalkan kekasinya, sebelum menyadari ia melakukan hal yang salah.”

Nyonya Gofman masih tidak menimpali ucapan suaminya itu.

“Jika ada hal yang patut kutinggalkan itu adalah karena aku benar. Usiaku, kematian itu benar-benar datang.”

—oOo—

Hari ketiga kematian Nyonya Gofman, Tuan Gofman, lebih sering tidur di bawah ranjang. Sesekali ia terbangun karena mendengar seseorang mendengkur di atasnya. Ia mengecek, tapi tak ada sesiapa.

—oOo—

Di hari kelima setelah istrinya pergi, dua ekor cicak yang menjelma malaikat pencabut nyawa, juga melihat ranjang itu kosong. Tak ada sesiapa. Padahal Tuan Gofman menanti.

(*) Terimakasih buat Air Suplly atas lagunya yang ciamik  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun