Menolak Malam
Tak ada yang lebih pahit dari
cangkir kopiku. Dan kau
memiliki apa
yang tak dimiliki orang lain
Lebih dari pucuk-pucuk ilalang,
angin yang tertelungkup ke arah bulatan bulan
dan kiasan indah lain yang oleh para sineas
dijadikan lirik percakapan imajiner mereka.
Kau punya mimpi yang hanya
boleh kau peluk sendiri
seperti bantal guling
favoritmu
dan selimut apak itu
yang kau sepak ke lantai saat kau merasa gerah.
Dunia
yang egois, Kekasih. Aku paham
kau kelelahan sepenuhnya
setiap kali mimpi sempat berjanji
datang tepat waktu,
dan bersikap seperti pertunjukan
jalan kota pukul 5 sore.
Siapa kita, makhluk manis?
Katakanlah
perihal sesuatu
yang menyakitkan, pada
garis telapak tangan kita
yang disayat-sayat tuhan
sebagai petunjuk jalan takdir
demi mengatakan sejauh ini
kita tidak datang untuk tersesat.
Di depanku, jalan lenggang
Daun-daun rengas
Lampu-lampu silau
menambahkan bayang-bayangku
yang muncul dari balik pohon willow
dan mendadak aku merasa
berada dalam abad renaisans
saat Hook terkatung-katung
memegang pedang
sekujur tubuhnya pegal.
Matanya memandang ke bawah
leher-licin-mengkilat milik orang lain
yang siap ia penggal. Ada kata
terakhir, tanyanya.
Aku minta permen. Si korban
menjawab. Rasa manis,
terkesan sepele. Namun ia
memilikinya. Tanpa rasa takut.
Sekarang. Tidurlah.
Subuh ini terlalu dingin.
Jika dihadapi seorang diri. Â
(2017)
Hari Sejati
Semoga ada bayi lahir pagi ini
dan hidup lebih baik, seperti
boneka-boneka mainan
anak-anak setelah mereka dewasa
yang oleh ibunya
tak pernah lagi dikeluarkan
dari dalam kardus.
Sebab hidup ini adalah lukisan
tiga dimensi, yang bergerak
sempurna, namun dihuni orang
-orang tak sempurna yang
menjual dirinya mati-matian
pada tengkulak. Kebahagian
adalah sisi lain dari museum,
Salah satu tempat yang tak ingin
dikunjungi sepasang kekasih
sebab mereka lebih yakin,
Keduanya, tak ingin berakhir sebagai
pajangan yang terlibat dalam lukisan
yang terbuat dari lapisan masa lalu.
Semoga pagi ini ada bayi lahir.
Bernama Masa Depan.
(2017)
Pertunjukan Terpisah
Kau tidak bersamaku,
saat aku mencukil-cukil kaleng
susu dengan obeng, dan
seorang anak kecil mengamuk
seperti banteng yang tak dapat
dikendalikan dengan tali kekang
-membanting truk kecil mainannya
hingga patah tiga bagian.
Kau tidak bersamaku,
untuk menjawab ketidaktahuan
aku, atas alamat jalan yang
dibawa Pak Pos tersesat
dengan paket seberat
batu gunung.
Kau tidak bersamaku,
saat-malam-hujan-turun
selurus-lurusnya jatuh
sederas-deras itu, kau tidak bersamaku
saat tujuh
usia bohlam lampu kamar putus
dan Ibu berteriak, "Terus!"
ketika aku memutar cagak antena
di samping rumah terbengong
-bengong mencari arah.
Kau tidak bersamamaku,
saat aku menatap ubin
memungut uang koin
di depan meja kasir
dan seorang perempuan berjilbab menggeser
sepatu talinya dengan kikuk.
Kau tidak bersamaku, untuk
malam suntuk, dan bayang
-bayang pohon bonsai menyerupai kuda poni terbang
bertanduk, menyerupai rambut
badut raksasa, menyerupaimu
secara fana
namun selembut nyata-nyatanya.
Kau tidak bersamaku, untuk
memberitahuku dunia ini begitu Â
indah,
meski tanpamu
dan kita tak berperan bersama
satu panggung lagi.
(2017)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI