“Tidak bisa!”
Karena Em tahu bahwa kegemarannya mengunyah telinga orang lain telah dicabut hak ijinnya oleh Ibu, maka tidak ada cara lain yang paling ampuh untuk menakuti-nakutiku kecuali mengancamku dengan cerita-cerita horor. Em bercerita mengenai tentang maraknya penculik organ yang berkeliaran membawa-bawa karung besar dan mengincar anak-anak kecil, yang suka keras kepala keluar rumah malam-malam.
Em, seminggu lalu juga pernah menceritakan cerita horor. Suatu kali, ada anak kecil yang berjalan hampir separuh bumi. Ia tersesat dan bertanya pada semua orang yang ia jumpai. Karena dunia ini sudah terlalu tua dan tuli, untuk itu dunia sudah tak bisa mendengar suara kecil bocah itu lagi. Bocah itu berjalan dan hanya berjalan sepanjang hari. Itu adalah cerita horor yang paling horor, katanya, setelah merasa selesai dengan ceritanya. Lalu Em akan mengajukan sebuah pertanyaan padaku: Apakah kau tidak takut mengalami nasib seperti itu, Caius?
“Aku tidak takut,” kataku penuh bulat. Ada dua buah bulat malah. Seperti bulatan yang ditumpuk untuk menghasilkan angka delapan. Nah, keberanianku senilai itu.
“Betul?”
“Tentu saja. Karena aku tahu, kau tidak akan membiarkanku mati tanpa mengenakan jantung!” Terus terang, ketika kalimatku mencapai kata jantung, sebenarnya aku sangat takut. Aku merasa ngeri membayangkanya. Mati dalam keadaan seperti itu pasti lebih buruk dari mimpi buruk.
“Baiklah. Nanti, suatu malam aku akan mengajakmu!”
“Benarkah?”
“Tentu saja. Kenapa tidak,” katanya.
Jawaban Em sungguh-sungguh lembut seperti tepung. Dan manis seperti gula. Yang biasa Ibu gunakan untuk membuat kue. Dan kata-kata yang diucapkan Em adalah kue kukis yang manis.
Tapi ternyata kata-kata Em hanyalah sebuah kue yang tak bisa disentuh bahkan untuk sekedar dinikmati. Em tak pernah mengajakku. Aku benar-benar kecewa padanya. Padahal setiap malam Minggu, aku selalu berharap ia akan mengajakku. Em membohongiku. Apakah dengan menjadi dewasa selain bebas mengecat warna rambut, juga mereka merasa bebas berkata-kata manis?