Aku tidak tahu mengapa kehadiranku yang berniat baik dengannya malah disambut dengan kata-kata “mengganggu”. Em pernah menggigit telingaku karena aku hampir mengikutinya setiap hari kemana pun ia pergi, aku mengikutinya dari belakang. Aku masih ingat rasanya. Ia meremas-meremas telingaku di mulutnya, lalu menggigit sedikit demi sedikit daun telingaku seperti saat dia sedang makan wafer. Mungkin jika saat itu ada sebuah cermin, aku yakin dapat melihat telingaku sendiri yang ranum seperti buah apel.
Aku pulang dan menangis dan kuutarakan pada Ibu bahwa ini adalah perbuatan Em!
Kakakmu memang suka begitu. Tak apa, Caius!Beberapa menit lagi, palingan daun telingamu akan kembali normal. Ini hanya seperti ledakan-ledakan kecil saja, seperti saat kau sedang berada di dapur.
Begitu Ibu akan bilang. Aku selalu senang saat menemani Ibu memasak di dapur menggoreng telur untuk sarapanku. Dan sebagai gantinya aku harus siap menerima percikan minyak. Tapi hal itu juga tetap saja membuatku menangis. Lalu, sebagai usaha menenangkanku, Ibu akan berjanji menunggu Em pulang bermain dan langsung memarahinya.
Sebenarnya aku sangat sedih saat melihat Em menunduk menatap dadanya sendiri saat dimarahi oleh Ibu. Tapi, bukankah itu adalah hukuman yang tepat bagi orang yang gemar mengunyah telinga orang lain? Untuk beberapa saat, Em, akan tetap diam saja di tempat itu, hingga Ibu yakin bahwa telinganya sudah cukup panas untuk membiarkan dirinya merenungi kesalahannya dan meminta maaf padaku dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi.
Tapi karena aku juga merasa bersalah dan berperasaan. Akhirnya, akulah yang justru lebih dulu meminta maaf padanya.
“Aku akan memaafkanmu, tapi jangan pernah mendekatiku lagi!” Em menjawabnya dengan nada ketus.
“Aku kan hanya ingin ikut bermain denganmu, Em. Aku janji deh aku tidak akan menuntut apa pun darimu. Ajaklah aku bermain bersamamu.” kataku.
“Tidak bisa. Lagi pula kan kau punya banyak teman kecil di lingkungan sini. Pergilah bermain bersama mereka!”
“Tidak bisa.” Kataku meniru gaya bicaranya. Setiap kali aku melakukan ini, aku merasa seolah hampir seperti dirinya. ” Ini adalah satu-satunya cara agar aku bisa meraih cita-citaku.”
“Apa, Caius? Coba kupikir-pikir dulu.” Ia berhenti sejanak. “Ini sama sekali tidak ada urusannya dengan cita-cita! Kau tahu, jika benar cita-citamu ingin menjadi seperti diriku, maka pertama-tama kau harus menjadi diriku lebih dulu sewaktu berumur tujuh tahun, yaitu: bermain dengan anak-anak seusiaku, tanpa memiliki ide bermain dengan orang dewasa. Kau mengerti kan?”