Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Yang Terjadi Sebelum Apa-apa Senantiasa Langsung Menghukum Kita

1 Agustus 2016   02:00 Diperbarui: 1 Agustus 2016   03:15 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: hdwallpapers.be

Takdir yang Menyuruh Kita Mondar-Mandir

Sehabis hujan lebat
kening batu-batu licin berkeringat.
Di sebelah sana, aku melihatmu
terjatuh
parah sekali menghidu.
"Astaga, lututmu!"

Kita yang telah lama bertahan
selama ini,
berdiri seperti tak cukup melawan sendiri
ditopang angin-angin gerigit
untuk terjatuh dan berlutut pada rasa sakit.

Jangan menangis!
Kataku mendekatimu.
Kau pun menangis.
Disela-sela isakmu
kaumenyuruhku meniupkan lukamu.
Laksana anak kecil.
sementara aku berpikir,
apakah kau akan runtuh
seketika
seperti bangunan pasir?

Hidup sudah tak lagi mesra,  
katamu. kauberkata,
barangkali kita adalah
hidup adalah
laku Maringgih
yang sesial-sialnya
pengantin,
dan Siti Nurbaya
yang sejak mula tak pernah
benar-benar mencintai kita?

Benarkah?
Aku bertanya-tanya.
Mungkin juga tidak.
Sebab, aku ingin percaya
jika boleh memilih, kukira
aku lebih suka
menjadi tetangga Maringgih saja
yang menjadi saksi mata
menyaksikan takdir bekerja,
sebelum moksa
sebelum mereka
mondar-mandir menyuruh kita.

Jangan menangis...

__

Begini Saja Kita Begitu Parah

Menuju hilir perahu origami kecil berlayar mempelajari alam sekitar.

Kita begini saja. Ada dan mengada-ada. Aku tahu kautahu kita sama-sama tahu menyembah Waktu, yang kini menjadikannya berhala untuk keyakinan bersandar dua luka kita yang penyabar.

Segalanya terjadi nampak seperti mimpi sekaligus nyata, yang nyatanya itulah yang terjadi.

Aku mencintaimu. Maafkan aku yang tak pernah bisa menghiburmu dari hari-hari buruk, kesepian ekslusif yang menghasut minta peluk dan perasaan tenang yang tak pernah tepat kujanjikan.

Tersenyumlah, andai kautahu, betapa Tuhan tak pernah khilaf, membiarkan. Untukmu: kuat-kuatlah sejadi-jadinya hamba maha tabah menyimpan.

(2016)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun