Tiga puluh menit berlalu, Siput itu telah memarkir motor bebeknya di depan rumahku. Siput naik Bebek, lucu juga. Tapi, terlambat karena kini bentuk tubuhku lebih mengerikan dari orang yang terserang cacar air. Bumi menjelaskan, ini adalah akibat awal pengalaman pertama anatomi tubuhku berkenalan dengan daging ular. Tubuh Bumi baik-baik saja, karena mereka cukup berpengalaman mencerna daging ular.
“Untung belum sekali terlambat!” katanya sambil menyodorkan gelas berisi air berwarna putih, yang ia yakini adalah ramuan yang dapat menetralizir racun dalam tubuhku yang amatir.
“Apa maksudmu?” Aku meraih gelas itu sambil tentu saja masih terus menggaruk tubuh.
“Jika lebih lama, kau tahu, cacar-cacar di tubuhmu dapat berubah jadi sisik!”
Sungguh aku tak ingin mempercayainya. Namun aku langsung meminumnya dengan rakus. Dan mengenai obat penawar itu, rasanya, tak ada berbeda dengan air putih biasa.
Sejarak lengan tangan dewasa, di depanku, Bumi tertawa puas. Aku menginjak kakinya kuat-kuat. Ia tak menghindar. Ia menyumpal mulutku dengan sebatang rokok dan menyalakannya dengan sebatang korek.
Mujarab, aku dapat merasakan obat penawar itu bekerja dengan cepat, merontokkan benih-benih sisik yang sebelum sempat tumbuh dan mereka telah lebih dulu memusnahkannya. Saking cepatnya tubuhku sampai tak dapat mengimbangi cara bekerja mereka. Tubuhku berusaha mengimbangi namun mereka terlalu cepat dan pada akhirnya ketika tubuhku dapat mengimbangi mereka, tubuhku telah lebih dulu kehilangan banyak tenaga. Dan itu membuatku merasa sangat lelah dan menimbulkan hasrat untuk beristirahat dan aku tertidur. Bumi telah pulang.
Cukup mencengangkan bahwa ketika kau merasa sakit, kau berupaya untuk menyembuhkan karena kau masih ingin hidup. Hal-hal semacam itu, kupikir, kau harus memiliki alasan cukup kuat mengapa kau masih ingin hidup? Terus terang saja, aku tak tahu alasan apa yang membuatku untuk tetap bertahan hidup, setidaknya hingga sekarang. Tapi aku ingin meyakini bahwa untuk hidup aku tak perlu memiliki alasan, bahkan alasan paling lemah sekalipun. Sebab, ketika dilahirkan, aku tidak memiliki alasan menolak untuk tidak dilahirkan, bukan?
Sesederhana itu, alasanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H