Belum sempat mencatat, di ruang tengah, telepon berdering. Dari Bumi. “Apa lagi? Biarkan aku mencatat dulu barang satu kalimat!”
“Tentu, Caius! Tapi kalau kau tak keberatan—“ Sambungan kumatikan. Bumi menelpon lagi. Dia memang keras kepala, kukira.
“Dengar!” katanya, “Apa kau merasa gatal-gatal?” Di ujung telepon, Bumi, bertanya dengan nada timbul tenggelam.
“Kenapa kau tanyakan itu?” tanyaku sambil menggaruk-garuk lumut di punggungku dengan tangan kiri.
“Aku lupa memberitahumu.”
“Tunggu dulu! Apa ini ada kaitannya dengan daging ular tadi pagi?” Punggungku, kini, benar-benar gatal. Kepalaku, tanganku dan dadaku dan seluruhnya.
“Demi Tuhan! Jangan mandi dulu! Tunggu sampai—“
“Nah, aku baru saja selesai mandi.” Aku memindahkan gagang telepon ke kuping kiri, karena kuping kanan gatal sekali. “Lalu apa masalahnya?”
“Jangan katakan bahwa kau mandi pakai air hangat.”
“Kukatakan aku baru saja mandi dengan air hang—“
“Aku akan ke rumahmu,” katanya cepat, ”... lebih cepat dari seekor siput di muka bumi.” Setelah bicara seperti itu ia mematikan teleponnya.