“Maksudmu, lebih buruk dari kopi tanpa gula?”
“Seperti kau bikin kopi setiap hari untuk mengusir sepi, sementara kau sama sekali tak berniat mencicipinya. Bahkan untuk sekedar memikirkannya. Kau kehabisan kopi sekaligus gelas untuk menampung sepimu.”
“Kasihan sekali!”
“Ya, kasihan sekali.”
“Mungkin kau hanya butuh pergi berlibur? Ke sebuah pantai, misalnya.” Saranmu. Di tanganmu kembang gula menunjuk angka 5.35.
“Aku pernah mendengar kisah bahwa seorang tetap merasa dirinya sendiri dan kesepian meski di kelilingi banyak sekali orang.”
“Kau mengucapkannya lagi! Baiklah, mungkin itu bukan ide yang bagus!”
“Setiap malam. Aku selalu ingin pergi ke suatu tempat dan berharap tak kembali.”
“Tempat apa itu? Apa lebih menarik dari Pantai Firdaus? Sehingga kau menginginkan kekal di dalamnya?”
“Rahim ibu,” kataku, “coba ingat-ingatlah kembali kapan terakhir kali kau merasa sendiri, kesepian dan hangat. Tapi kau merasa betah berlama-lama di sana. Duduk dengan tekun, tertidur bukan karena kelelahan, dan terbangun bukan karena pegal di sekujur badan. Menangis bukan karena merasa terancam, tertawa terus-menerus karena kau merasa nyaman di dalamnya.”
Kau tertawa lama sekali. Seolah baru saja mendengar cerita, bahwa kucing menggonggong, anjing mengeong—yang membuat Sang Majikan bingung, pada akhirnya, keduanya diijinkan tinggal bersama di dalam rumah—kemudian keduanya memutuskan pergi berlibur ke sebuah pantai karena mereka merasa perlu merayakannya, sebab mereka pikir tidak ada lagi yang meski diperebutkan. Mereka akan berjemur di tepi pantai mengenakan kacamata hitam, dan masing-masing akan bergantian memijit punggung satu sama lain dengan minyak lotion buatan pabrik di Jababeka. Menjelang sore mereka akan melakukan permainan lama: mengubur diri mereka dengan pasir hangat dan mengakhirnya dengan bermain layang-layang. Mustahil!