Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menjelang Memejam

27 Februari 2016   22:42 Diperbarui: 28 Februari 2016   00:06 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Aku hanya ingin kita jauh lebih baik.”

“Lebih baik?” tanyamu balik seperti anak kecil yang tak berniat menatap lawan bicaranya. Semantara salah satu tanganmu memegang tangkai kembang gula dan sibuk melumatnya.

“Maksudku, kita tak perlu lagi merasa kesepian karena masing-masing harus merasa saling kehilangan. Kita tak perlu lagi menjadi orang lain untuk menghadapinya.”

“Kita?” Kau bertanya, kini sesekali menatapku dan kembali menekuri kembang gulamu.   

“Mungkin aku.”

“Kupikir kau menyukai itu.” Kini kedua tanganmu memegang tangkai kembang gula erat sekali, seolah mengerti apa yang kupikirkan. Semacam antisipasi kalau-kalau aku mendadak merebut kembang gula dari tanganmu. Sebenarnya, aku ingin. Tapi aku lebih ingin melihat bibirmu yang blepotan itu karena kepayahanmu memperhitungkan bagian yang pas untuk dilumat. Kau nampak manis sekali.

“Menjadi orang lain tak pernah menyenangkan,” kataku.

“Lalu mengapa kau melakukannya?” Tanyamu lalu sambil mengelap sudut-sudut bibirmu dengan lidah dan menyelesaikannya dengan jari-jarimu. Kau nampak khidmat sekali, tak peduli gerakan-gerakan yang kaulakukan itu dapat membuatmu semakin terlihat manis saja. Dan kau melakukannya tanpa sekalipun memperdulikan perasaanku yang melihatmu.

“Aku hanya melakukan seperti kebanyakan orang yang kesepian dengan cara menyibukkan diri, dengan begitu kurasa aku akan baik-baik saja.”

“Lalu, apa kau baik-baik saja?” Kembang gula di tanganmu yang tadinya berukuran sebesar jam dinding kini tinggal setengah lingkaran. Persis seperti menunjukan waktu pada pukul 9.30.

“Lebih buruk dari baik-baik saja,” kataku menjelasakan, “sebagian mungkin seluruhnya tidak baik-baik saja.”

“Maksudmu, lebih buruk dari kopi tanpa gula?”

“Seperti kau bikin kopi setiap hari untuk mengusir sepi, sementara kau sama sekali tak berniat mencicipinya. Bahkan untuk sekedar memikirkannya. Kau kehabisan kopi sekaligus  gelas untuk menampung sepimu.”

“Kasihan sekali!”

“Ya, kasihan sekali.”

“Mungkin kau hanya butuh pergi berlibur? Ke sebuah pantai, misalnya.” Saranmu. Di tanganmu kembang gula menunjuk angka 5.35.

“Aku pernah mendengar kisah bahwa seorang tetap merasa dirinya sendiri dan kesepian meski di kelilingi banyak sekali orang.”

“Kau mengucapkannya lagi! Baiklah, mungkin itu bukan ide yang bagus!”

“Setiap malam. Aku selalu ingin pergi ke suatu tempat dan berharap tak kembali.”

“Tempat apa itu? Apa lebih menarik dari Pantai Firdaus? Sehingga kau menginginkan kekal di dalamnya?”

“Rahim ibu,” kataku,  “coba ingat-ingatlah kembali kapan terakhir kali kau merasa sendiri, kesepian dan hangat. Tapi kau merasa betah berlama-lama di sana. Duduk dengan tekun, tertidur bukan karena kelelahan, dan terbangun bukan karena pegal di sekujur badan. Menangis bukan karena merasa terancam, tertawa terus-menerus karena kau merasa nyaman di dalamnya.”

Kau tertawa lama sekali. Seolah baru saja mendengar cerita, bahwa kucing menggonggong, anjing mengeong—yang membuat Sang Majikan bingung, pada akhirnya, keduanya diijinkan tinggal bersama di dalam rumah—kemudian keduanya memutuskan pergi berlibur ke sebuah pantai karena mereka merasa perlu merayakannya, sebab mereka pikir tidak ada lagi yang meski diperebutkan. Mereka akan berjemur di tepi pantai mengenakan kacamata hitam, dan masing-masing akan bergantian memijit punggung satu sama lain dengan minyak lotion buatan pabrik di Jababeka. Menjelang sore mereka akan melakukan permainan lama: mengubur diri mereka dengan pasir hangat dan mengakhirnya dengan bermain layang-layang. Mustahil!  

Sementara itu, aku menunggumu berhenti tertawa. Kembang gulamu telah lenyap seiring lenyapnya percakapan imajiner di kepalaku, yang setiap malam kubangun ketika hendak memejam.   

__

Mangkok yang Menguap, 27 Feb 2016. | Pic

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun