Ia menyulut sebatang rokok lagi. Menyulut kesepiannya sendiri. Pengarang kita yang menyedihkan, telah siap menulis. Mungkin puisi, mungkin juga sebuah cerita; Hal-hal yang Terjadi Ketika Kamu Pergi.
Kini ia duduk di sebuah bangku plastik, berhadapan dengan sebuah komputer, menekan tombol on pada CPU dan menunggu layar monitor itu menyala sambil menikmati bunyi ‘nut’ panjang yang diproduksi dari komputernya yang selalu berulah. Ia memang pernah kesal pada suara lengking panjang itu (selain mengganggu) suara yang selalu mengingatkannya pada masalalu. Ketika seseorang di seberang jalan sana memutuskan meletakan teleponnya dan memutuskan ikatan ruang dan waktu mereka berdua.
Ia pernah membawa seorang teman yang ahli dalam bidang itu ke dalam kamar kontrakannya. Memperbaiki komputernya, “Kalau bisa perbaiki juga kenangan di dalamnya!” katanya. Tiga puluh menit berlalu, ia menyerah. Ia bilang, “Komputermu baik-baik saja dan kenanganmu pun tetap akan baik-baik saja, jika kamu terus merawat poto-poto, vidio-vidio slow motion itu di dalam komputermu.”
Ia kembali menekuri layar monitor dan memasukan password: gara-gara-sapardi-gue-jadi-kayak-puisi-gara-gara-sapardi-gue-jadi-tabah-kayak-hujan-dibulan-juni, dan menambahkan kata terakhir: oh-sapardi. Dan membuka ms.word. Kursornya mulai berkedip.
Dengan sangat serampangan ia pun mulai menulis:
Seseorang atau orang-orang kurasa harus belajar banyak darimu, Lis. Belajar cara melupakan dengan baik dan benar. Sehingga ketika hujan turun tak ada lagi orang-orang yang mengandung depresi, mengalami sesuatu yang cenderung membuat mereka murung. Malam hari saat rindu berkabung dengan kopi dan sepi. Jika kau cukup beruntung kau bisa menulis sebuah buku; Kiat-kiat Jitu Melupakan Masalalu. Aku akan pesan satu! Mungkin dua. Mungkin semuanya, karena aku ingin benar-benar melupakan semuamu. Tapi....
Tulisannya terhenti di kata ‘tapi’. Tapi? Ia sepertinya bingung untuk menimpali kalimatnya sendiri. Ia mencoba memikirkan kata yang tepat untuk menyambung kalimat itu, sebelum akhirnya ia memutuskan menghapusnya. Ini terlalu menyedihkan, katanya dalam hati, sebab membaca buku panduan soal melupakan adalah hal yang konyol. Karena di sana tentu saja, ada satu hal yang perlu diingat; melupakan berarti mengingat.
Ctrl+A+D. Selesai. Pengarang kita yang menyedihkan mengambil rokoknya yang ia di letakan di asbak sambil memandangi layar monitornya yang kembali memutih. Ia menghisapnya pelan dan dalam dan pada hisapan keempat ia mulai menulis lagi.
Agaknya kita adalah dua orang penumpang dalam sebuah bus. Kamu membawa banyak barang-barang, sementara aku membawa banyak sekali ingatan. Di sebuah terminal, aku bertemu banyak orang: dia, ia, mereka, kamu dan lainnya. Di dalam sebuah bus, aku bertemu kamu di sebelah bangku.
Selalu ada tempat kosong di bumi ini, di dalam bus itu, tentu saja di dalam hatimu—tapi aku tidak yakin. Karena kita hanya duduk-duduk saja sambil menikmati goncangan perjalanan. Dan tidak menanyakan, misalkan, “Mau kemana?” Ke hatimu, adalah jawaban gombal. Sebab yang terjadi, kamu menutup mulutmu dengan masker berwarna hijau selama bus itu melaju. Kamu tidur dan melipat kecil tubuhmu itu di dekat kaca jendela. Sementara itu, aku menjelma sebuah judul buku yang mengalami *Seratus Tahun Kesunyian di dalam bus itu.
Kamu memesan bangun kepada petugas berseragam ketika tujuanmu hampir tiba. Aku memesan turun pada diriku sendiri ketika kita berpisah. Pada akhirnya...
Ia terhenti lagi. Kali ini agak lama. Ia tak yakin ingin melanjutkannya, karena sekalipun ia ingin melanjutkannya, ia tetap menghapusnya. Betapa ia mampu melanjutkan kalimat itu tapi ia ingat, mereka—para pembaca pasti akan mengatakan: jika tokoh dalam karangannya terlalu menyedihkan dan muram.
Ia tak tahu mengapa bisa seperti itu. Mungkin karena ia menulis disaat ia sedang merasa sedih. Ia berpikir, orang-orang tidak menyukai tulisannya karena menyedihkan. Dan ketika ia memikirkan hal semacam itu, ia kembali sedih. Dan ketika ia sedih, ia menulis kesedihannya. Dan orang-orang membencinya.
Ya tentu saja, terkadang kebencian terlahir dari sebuah kesedihan. Seperti cinta, karena tak semua orang bisa memiliki apa yang ingin ia dicintai, oleh karena itu ia membenci oranglain—yang memiliki hal tersebut, atau jika ia cukup bijak ia akan membenci dirinya sendiri dan menerima dirinya adalah sebuah kesalahan. Macam Kawabata yang disakiti seseorang yang bahkan tidak pernah ada.
__
Samarinda, 20 Januari 2016. | ilustrasi
*) Diambil dari judul novel: Seratus Tahun Kesunyian; G.G.Marquez.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H