[caption id="attachment_373467" align="aligncenter" width="600" caption="www.editorarideel.com"][/caption]
*
/1/
Lalu, perempuan itu ingin membuat rindunya sendiri. Satu buah puisi, ia pahat pada kertas putih. Bukan. Bukan tinta yang ia gunakan, bukan pula airmata.
Keduanya sudah sama habis, saat-setelah kekasihnya, mati, mendahuluinya.
/2/
Ia seorang balerina, penari yang sudah renta.
/3/
Satu buah puisi, ia rampungkan. Sekarang, ia ingin buat prosa yang panjang --yang bila ia rindukan kekasihnya, ia akan baca.
Jari keriputnya menari-nari, dari otak dari kepala dari tangan ke ujung jemari, macet. Seperti rambu lalu lintas yang menabrak kekasihnya hingga tewas.
/4/
Sudah saya bilang, ia tak bisa lagi menangis. Tapi, menjerit, ia lakukan. Sebuah kuda besi buatan Jepang, dari arah berlawanan, berkecepatan seperti kijang hendak diterkam, menikam kekasihnya. Dan terpental, tepat sepuluh meter dari ujung hidung perempuan itu. Langit pun murung.
/5/
IA sangat rindu berat, dan prosa yang ia buat, ia hentikan sejenak. Ia pergi ke dapur. Ia ingin membuatkan kekasihnya secangkir kopi yang teramat pekat --yang barangkali sekali sesap, ia (kekasihnya) bisa ingat: tidak ada pemanis buatan, selain pemanis yang dibuat-buat supaya manis.
Ia taruh kopi tersebut di meja di samping pigura, dulu, ia dan kekasihnya masih bisa tertawa bersama-sama.
Ia pun tertawa, laiknya orang gila. Dan sadar, sekarang hanya tinggal ia.
/6/
Jam dinding berdenting mengucapkan mantra, "Sudah pukul tiga, tidurlah. Lupakanlah!"
Tidak hanya tidak bisa menangis lagi. Perempuan itu pun tuli.
Dilihatnya, pergelangan tangan arloji yang ia kenakan, jarum pendeknya berhenti di angka empat, sedangkan lainya di angka duabelas. Itu adalah kado pemberian, sewaktu mereka masih pacaran. Sekarang, arloji itu telah mati. Perempuan itu selalu berfirasat, kelak, ia akan mati tepat ketika pukul empat.
/7/
Inun, nama perempuan penari balerina yang sudah tak lagi muda. Bergegas, menyelesaikan prosanya. Di sana: Inun, menulis banyak, sebanyak apa yang ia ingat. Barangkali, lupa, sedang kalah taruhan dengan rindu yang lebih mencekam. Di warung ala-ala Cina, saat mereka kencan pertama. Inun, memesan sepasang sendok dan garpu. Ia gagal menyelipkan nasi di antara sumpit. Kekasihnya, tertawa usil. Tersenyum, lalu mengajarinya cara menggunakannya.
Inun, tulis kejadian memalukan itu. Ia senyum.
/8/
Kopi itu sudah dingin, pagi ini semakin dingin dan rindu itu belum beranjak berlalu. Di simpannya puisi dan prosa di laci bercat biru tua. Dingin, Inun menari-nari dengan tongkat kayunya, sampai gerah hingga lelah. Lalu ia menjatuhkan badannya di atas kasur, puing-puing debu pun terbang mencari titik aman. Perempuan itu menarik selimut, matanya sangat berat. Pukul empat, Inun tidur sambil senyum. Lelap.
*) Samarinda, 17 Maret 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H