Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Prosa Penari Balerina

17 Maret 2015   20:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:31 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_373467" align="aligncenter" width="600" caption="www.editorarideel.com"][/caption]

*

/1/
Lalu, perempuan itu ingin membuat rindunya sendiri. Satu buah puisi, ia pahat pada kertas putih. Bukan. Bukan tinta yang ia gunakan, bukan pula airmata.
Keduanya sudah sama habis, saat-setelah kekasihnya, mati, mendahuluinya.

/2/
Ia seorang balerina, penari yang sudah renta.

/3/
Satu buah puisi, ia rampungkan. Sekarang, ia ingin buat prosa yang panjang --yang bila ia rindukan kekasihnya, ia akan baca.

Jari keriputnya menari-nari, dari otak dari kepala dari tangan ke ujung jemari, macet. Seperti rambu lalu lintas yang menabrak kekasihnya hingga tewas.

/4/
Sudah saya bilang, ia tak bisa lagi menangis. Tapi, menjerit, ia lakukan. Sebuah kuda besi buatan Jepang, dari arah berlawanan, berkecepatan seperti kijang hendak diterkam, menikam kekasihnya. Dan terpental, tepat sepuluh meter dari ujung hidung perempuan itu. Langit pun murung.

/5/
IA sangat rindu berat, dan prosa yang ia buat, ia hentikan sejenak. Ia pergi ke dapur. Ia ingin membuatkan kekasihnya secangkir kopi yang teramat pekat --yang barangkali sekali sesap, ia (kekasihnya) bisa ingat: tidak ada pemanis buatan, selain pemanis yang dibuat-buat supaya manis.

Ia taruh kopi tersebut di meja di samping pigura, dulu, ia dan kekasihnya masih bisa tertawa bersama-sama.
Ia pun tertawa, laiknya orang gila. Dan sadar, sekarang hanya tinggal ia.

/6/
Jam dinding berdenting mengucapkan mantra, "Sudah pukul tiga, tidurlah. Lupakanlah!"

Tidak hanya tidak bisa menangis lagi. Perempuan itu pun tuli.
Dilihatnya, pergelangan tangan arloji yang ia kenakan, jarum pendeknya berhenti di angka empat, sedangkan lainya di angka duabelas. Itu adalah kado pemberian, sewaktu mereka masih pacaran. Sekarang, arloji itu telah mati. Perempuan itu selalu berfirasat, kelak, ia akan mati tepat ketika pukul empat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun