Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nama-nama

6 Maret 2015   20:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:04 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pernah aku tanyakan pada Ma Cih, kapan ia akan mengganti namaku lagi. Tapi ia hanya tertawa.


Ma Cih juga yang mencarikanku pekerjaan selama pelarianku sampai sekarang ini sebagai calo pelabuhan, Pak Din adalah pelanggan setia Ma Cih sekaligus bosku.


Srupuut. Aku meminum kopi. Hatiku pasang surut mencari-cari tepi. Tepi semuanya: caramu menghianatiku, caraku pergi, caramu ingat lagi kepadaku. Apa yang harus kulakukan?


"Sudahlah, tak usah khawatir, cinta memang menyakitkan. Tapi manusia takkan pernah bisa lepas dari rasa sakit, itulah sebab diciptakannya airmata."


"Maksud Ma Cih?" Aku pura-pura tidak tahu, Pak Din pernah mencoba melamar janda beranak lima itu. Ia mencintainya, namun bukan karena kasihan. Aku sering melihat Pak Din melakukan trik-trik seperti anak muda ketika melakukan pendekatan kepada lawan jenisnya. Membantu Ma Cih membuka warung klotoknya, hingga ia rela menunggu warung tutup.


Pak Din pernah bercerita kepadaku tentang Ma Cih. Bahwa Ma Cih tidak cukup tua dan tidak terlalu buruk untuk usianya yang terpaut sepuluh tahun darinya. Menurutnya ia istimewa. Lalu mengapa suaminya pergi meninggalkan Ma Cih?


Pak Din juga bercerita, bahwa suami Ma Cih meninggal karna persaingan perdagangan, ia sakit selama dua minggu berlarut-larut, karena terkena ilmu sihir.


Maka, tidak heran jika menjelang magrib tiba, di warung klotok miliknya selalu terdengar alunan ayat-ayat suci. Ia ingin menjaga kelima anak-anaknya. Ia tak mau kehilangan mereka semua.
Kata, Ma Cih, para penyihir akan melepaskan sihirnya menjelang masuk waktu magrib tiba. Itulah sebabnya tidak ada tempat paling jujur selain secangkir kopi, lantunan ayat-ayat suci, dan Ma Cih dengan senyuman terbaik miliknya.


"Mas Loh, tumben amat jam segini belum tidur, mau bantuin tutup warung?" dari belakang lelaki yang tak asing suaranya menepuk pundaku. Pak Din, ia cengengesan.


"Kopi ABC susu satu, Cih!" ucap Pak Din, sambil menggeser-geser tempat yang aku duduki.


"Hih, Pak Din! sebelah luas noh!" ketusku sambil menabok bokongnya. Namun ia tak peduli, dirangkulnya leherku dan mengacak-acak rambut di kepalaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun