Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nama-nama

6 Maret 2015   20:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:04 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_371688" align="aligncenter" width="490" caption="sianakdesa.files.wordpress.com"][/caption]
*

Tidak ada tempat yang paling jujur kecuali saat Ma Cih pemilik warung klotok menyiapkan secangkir kopi untuk para pelanggan setianya. Dari sudut-sudut desa terpencil, di sini adalah titik temu untuk para mereka yang sekedar singgah, setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih delapan jam menuju pelabuhan.


Ma Cih adalah janda beranak lima, aku tahu itu dari obrolan para pelanggan setianya. Dari pukul sepuluh pagi sampai jam empat pagi lagi, Ma Cih selalu ada ketika kita memesan kopi, ote-ote, ubi goreng, tempe goreng dll. Kadang, aku memergoki Ma Cih sedang menyandarkan bahunya meja. Ia nampak lelah, memerangi waktu dua puluh tahun tanpa suaminya. Sedang anak-anaknya masih butuh sekolah.


Menuju tengah malam, hatiku merasa gundah. Tak tahu kenapa.


"Jika takdir sempat membuat kita berpisah. Ijinkan aku memelukmu, untuk terakhir kali, Zen."


Nafasku pengap seperti terserang asma. Dua tahun sudah kita berpisah. Namun, ketika ia mengirimkan pesan singkat kepadaku, semuanya nampak cepat. Piringan hitam di dalam otakku terus memutar kejadian-kejadian bersamanya. Aku tidak bisa tidur.


"Kumohon, jangan membicarakan ini lagi, Syam. Kau yang memilih. Harusnya kau bisa menghormati keputusanku untuk pergi," balasku.

Dia menelponku. Aku masih berusaha diam, tertekan. Tak mau kuangkat. Apa rasanya, Syam, menahan tak bisa menangis pun sama. Deringnya semakin bergetar hebat seperti gempa di dalam dada. Aku tinggalkan ia, bersama puing-puing akibatnya.

***

"Kopi hitam satu, Ma Cih!"


kabarnya, secangkir kopi dengan komposisi yang pas, bisa memberikan relaksasi tubuh kepada peminumnya. Mungkin akan menghasilkan cairan endorfin lebih, sama ketika kita mengkonsumsi cokelat.


"Tak kayak biasa, Ma Cih. Sepi."


"Iya, Mas Loh. Baru buka, tadi harus urus anak dulu periksa ke dokter Robert."


"Sakit apakah?"


"Deman sudah tiga hari, aku pun bingung kenapa ga sembuh-sembuh."


"Kangen ayahnya kali, Ma Cih," ia diam.


"kau juga, tak biasa jam segini belum tidur, Syamsyah lagi?" lanjutnya kemudian mengalihkan pembicaraan.


Pelarianku menuju pulau yang disebut-sebut adalah paru-paru dunia, tak lain hanya melarikan diri, membebaskan hati, dan mencoba mengosongkannya setelah lama terisi Syamsyah, wanita yang kucintai satu-satunya. Namun ia memilih menikah bersama lelaki lain pilihan orang tuanya.


Pertama terdampar di pulau ini, di pelabuhan Loa Janan, aku mengenal Ma Cih, wanita yang jujur ketika menyeduh secangkir kopi. Aku ceritakan semua masalahku kepadanya. Ma Cih juga pendengar yang baik.


"Kau laki-laki, tak boleh luluh. Hidup harus berlanjut...." aku menangis tersedu mendengar ucapannya. Aku tak bisa sekuat itu. Aku rapuh.


Sejak saat aku menceritakan semuanya, Ma Cih mengganti namaku dari Zen menjadi Loloh, yang artinya luluh atau lembek, huruf vocal 'u' menjadi 'o', jika diucapkan secara lisan oleh Ma Cih, orang dari Suku Banjar. Katanya, biar aku malu menahan hinaan sebagai lelaki lembek.


Orang-orang yang menahan hinaan secara berlebihan, maka kinerja otak kanan akan lebih baik dari kinerja otak lainnya, itu disebabkan tekanan yang berlebihan. Dan ia akan lebih kuat (orangnya).


Pernah aku tanyakan pada Ma Cih, kapan ia akan mengganti namaku lagi. Tapi ia hanya tertawa.


Ma Cih juga yang mencarikanku pekerjaan selama pelarianku sampai sekarang ini sebagai calo pelabuhan, Pak Din adalah pelanggan setia Ma Cih sekaligus bosku.


Srupuut. Aku meminum kopi. Hatiku pasang surut mencari-cari tepi. Tepi semuanya: caramu menghianatiku, caraku pergi, caramu ingat lagi kepadaku. Apa yang harus kulakukan?


"Sudahlah, tak usah khawatir, cinta memang menyakitkan. Tapi manusia takkan pernah bisa lepas dari rasa sakit, itulah sebab diciptakannya airmata."


"Maksud Ma Cih?" Aku pura-pura tidak tahu, Pak Din pernah mencoba melamar janda beranak lima itu. Ia mencintainya, namun bukan karena kasihan. Aku sering melihat Pak Din melakukan trik-trik seperti anak muda ketika melakukan pendekatan kepada lawan jenisnya. Membantu Ma Cih membuka warung klotoknya, hingga ia rela menunggu warung tutup.


Pak Din pernah bercerita kepadaku tentang Ma Cih. Bahwa Ma Cih tidak cukup tua dan tidak terlalu buruk untuk usianya yang terpaut sepuluh tahun darinya. Menurutnya ia istimewa. Lalu mengapa suaminya pergi meninggalkan Ma Cih?


Pak Din juga bercerita, bahwa suami Ma Cih meninggal karna persaingan perdagangan, ia sakit selama dua minggu berlarut-larut, karena terkena ilmu sihir.


Maka, tidak heran jika menjelang magrib tiba, di warung klotok miliknya selalu terdengar alunan ayat-ayat suci. Ia ingin menjaga kelima anak-anaknya. Ia tak mau kehilangan mereka semua.
Kata, Ma Cih, para penyihir akan melepaskan sihirnya menjelang masuk waktu magrib tiba. Itulah sebabnya tidak ada tempat paling jujur selain secangkir kopi, lantunan ayat-ayat suci, dan Ma Cih dengan senyuman terbaik miliknya.


"Mas Loh, tumben amat jam segini belum tidur, mau bantuin tutup warung?" dari belakang lelaki yang tak asing suaranya menepuk pundaku. Pak Din, ia cengengesan.


"Kopi ABC susu satu, Cih!" ucap Pak Din, sambil menggeser-geser tempat yang aku duduki.


"Hih, Pak Din! sebelah luas noh!" ketusku sambil menabok bokongnya. Namun ia tak peduli, dirangkulnya leherku dan mengacak-acak rambut di kepalaku.


"Muka kau kusut amat, Loh, kayak calo yang abis kena calo, ha-ha!" Mata Pak Din melirik Mak Cih yang sedang buat kopi, namun mulutnya tetap menjurus ke arahku.


Ma Cih menceritakan kisahku kepada Pak Din, alasan mengapa sampai larut malam aku belum tidur. Tertawanya makin keras. Dan berhenti- menjadi serius. Amat serius.


"Pulanglah, Loh!"


"Untuk apa?" ucapku.


"Untuk jelaskan semuanya. Semuanya. Termasuk perasaanmu."


Aku diam, tertekan. Ma Cih menatapku penuh selidik, mencoba membaca --apa isi di balik tempurung kepala.


"Besok aku akan pulang!" ucapku lantang, sembari keluar meninggalkan warung klotok bersama asmara, Pak Din, yang tak pernah sampai.


***


Pagi, ketika matahari masih mengenakan kacamata hitamnya, aku sudah berada di warung klotok milik Ma Cih. Berpamitan sebelum pulang kepada orang yang telah berjasa kepadaku selama di pelabuhan Loa Janan.


"Sampai pulau jawa, jangan lupa beri kabar kalau kau sudah tiba, Loh!" Ma Cih tersenyum.


Langkah demi langkah, aku membuat jarak kepada Ma Cih. Rasanya jauh sekali aku pergi.


"Loh!"


"Loh!"


"Loh!" Dari kejauhan, Ma Cih memanggilku sembari melambaikan tangan.


"Nama barumu ... Osaha!" Ma Cih berteriak keras sekali, aku dengar, namaku telah digantinya menjadi OSAHA. Namun sayang, aku tak punya cukup waktu untuk menanyakan apa artinya....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun