"Muka kau kusut amat, Loh, kayak calo yang abis kena calo, ha-ha!" Mata Pak Din melirik Mak Cih yang sedang buat kopi, namun mulutnya tetap menjurus ke arahku.
Ma Cih menceritakan kisahku kepada Pak Din, alasan mengapa sampai larut malam aku belum tidur. Tertawanya makin keras. Dan berhenti- menjadi serius. Amat serius.
"Pulanglah, Loh!"
"Untuk apa?" ucapku.
"Untuk jelaskan semuanya. Semuanya. Termasuk perasaanmu."
Aku diam, tertekan. Ma Cih menatapku penuh selidik, mencoba membaca --apa isi di balik tempurung kepala.
"Besok aku akan pulang!" ucapku lantang, sembari keluar meninggalkan warung klotok bersama asmara, Pak Din, yang tak pernah sampai.
***
Pagi, ketika matahari masih mengenakan kacamata hitamnya, aku sudah berada di warung klotok milik Ma Cih. Berpamitan sebelum pulang kepada orang yang telah berjasa kepadaku selama di pelabuhan Loa Janan.
"Sampai pulau jawa, jangan lupa beri kabar kalau kau sudah tiba, Loh!" Ma Cih tersenyum.
Langkah demi langkah, aku membuat jarak kepada Ma Cih. Rasanya jauh sekali aku pergi.