"Solilokui"
Aku ini kok pandai kritik orang lain. Bahkan aku pun suka kritik pemimpin negara. Aku seperti pakar politik atau ahli hukum.
Aku hebat! Aku merasa diriku hebat! Serba bisa. Kayak mobil Jeep. Yang bisa jalan di atas aspal pun jago jalan di jalan berlumpur. Amphibi.
Namun, aku seringkali lupa bahwa aku itu tidak pernah instrospeksi diri. Aku malas bermawasdiri. Bercermin diri. Apa sih yang sudah aku lakukan dan kerjakan dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara???
Ketika Pesta Rakyat yang lalu aku habis-habisan mendukung seorang capres. Bahkan aku rela keluar duit, tenaga dan waktu menjadi relawan capres itu. Aku sampai perang di medsos dengan capres lawan. Sampai harus menulis pakai kata-kata kasar. Dan sampai aku diancam akan dipersekusi.
Kini, saat-saat seperti sekarang ini, dimana pilpres 2024 telah di ambang pintu. Aku tiba-tiba, sekonyong-konyong, berbalik arah menentang sang capres yang sudah terpilih jadi orang nomor satu di republik tercinta ini, yang dulu pernah aku dukung mati-matian. Bahkan aku dukung secara membabi buta. Karena, aku dengar dan baca, beliau telah membangun politik dinasti. Kata orang, tertulis di berita-berita, beliau itu ingin terus berkuasa. Maka, dibikinlah putranya yang masih berusia muda menjadi cawapres lewat putusan Majelis Konstitusi yang disebutkan penuh aroma KKN.
Aku pun mencela, menghujat, dan menyalahkan beliau yang dulu pernah aku dukung habis-habisan. Gas poll kata orang.
Aku mendadak laksana menjadi seorang pakar politik atau pakar hukum atau ahli hukum tata negara. Aku tuliskan komen-komen aku di medsos mengkritik si orang nomor satu itu.
Herannya aku, kenapa dulu, sebelum menjelang Pesta Rakyat seperti sekarang ini, ketika beliau pernah membuat policy kebijakan yang kurang pas, aku samasekali tidak protes atau mengkritik beliau??? Malahan sebaliknya. Apabila ada yang kritik atau memprotes beliau, aku pasti tampil membela beliau. Aku balas mencecar orang-orang yang berani melemparkan protes dan kritik kepada beliau.
Diriku ini setelah kuamat-amati. Aku berdiri depan cermin. Bercermin. Berintrospeksi diri. Bermawasdiri. Aku bertanya pada diriku sendiri depan cermin: apa ya yang sudah aku kerjakan dan lakukan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara selama ini???
Aaah...aku ternyata belum melakukan apa-apa. Buktinya, setiap pagi aku melihat para pengendara kendaraan bermotor yang melanggar rambu-rambu lalulintas saja aku samasekali membiarkan. Bahkan acapkali aku pun ikut melanggar rambu-rambu lalulintas. Misalnya, aku ikut-ikutan masuk jalur busway. Aku masuk ke jalan yang dilarang masuk. Verboden. Satu arah. Tidak boleh belok.
Aaah...kerapkali aku melihat orang-orang membuang sampah sembarang. Aku sering lihat orang menjentikkan abu rokok ke aspal. Menjentikkan puntung rokok ke jalan. Melempar botol bekas air mineral ke aspal. Bahkan pernah kulihat  seorang ibu menyapu halaman rumahnya. Lalu mengumpulkan sampahnya dan dibuang di pinggir jalan depan rumahnya. Pernah pula saat masih Covid-19 aku lihat orang-orang seenaknya membuang masker bekas ke aspal.
Di sekitar tempat tinggal aku melihat banyak rumah-rumah kumuh. Aku cuek dan pura-pura tak tahu. Aku juga pernah membaca bahwa banyak warga di rumah-rumah di pelosok desa yang hidup miskin melarat di bawah garis sejahtera. Aku pun pura-pura tak peduli.
Bukankah agama mengajarkan aku harus membantu orang-orang miskin dan yang berkesusahan??
Bukankah negara tercinta ini memiliki falsafah hidup Pancasila?? Bukankah setiap warga negara harus menerapkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara??? Bukankah sebagai warga negara kita harus saling bergotong-royong dalam membantu sesama saudara sebangsa dan setanah air yang hidupnya tidak seberuntung kita???
Aaahh...aku tak mau pusing tentang itu. Yang penting aku dan anak-anak dan istriku aman. Tenteram. Cukup makan cukup pakaian cukup jajan.
Peduli tetangga peduli orang lain yang mau makan atau tak makan. Mau sakit atau tak punya duit buat beli obat.
Aku banyak baca berita. Mafia-mafia tanah mencaplok tanah-tanah milik warga. Mafia tanah merugikan warga. Negara tidak hadir. Warga entah harus melapor kemana. Untuk menuntut hak-haknya. Kok seperti hidup dalam rimba belantara?? Yang besar dan kuat menindas yang kecil dan lemah???
Dan, aku hanya membaca. Tanpa berbuat apa-apa!!
Bukankah mestinya, harusnya, wajibnya, aku sebagai warga negara harus tampil berkomentar. Misalnya berteriak: BASMI MAFIA TANAH!! PENJARAKAN PELAKU & OTAKNYA!! KEMBALIKAN HAK-HAK WARGA YANG TANAHNYA DICAPLOK!! Itu misalnya.
Aaahh...aku tidak melakukan apa-apa. Aku diam saja. Aku tak mau ambil pusing. Itu bukan masalahku. Aku mau cari aman saja.
Aaahh.... Aku ternyata tidak melakukan apa-apa.
Selain hanya mencari nafkah buat keluarga.
Kadangkala pun aku pakai cara-cara yang melanggar etika.
Padahal kan aku warga negara!
Tetapi, kok aku begitu nafsu memprotes, mengkritik, bahkan menghujat sang pemimpin negara.Yang menurutku sudah berbuat salah.Dan berdosa.
Kok mendadak aku laksana wartawan yang menuliskan berita fakta dan realita tentang kesalahan sang raja?
Kok mendadak aku laksana pakar hukum yang mengupas pasal dan ayat hukum yang bisa dituduhkan pada sang pemimpin??
Kok mendadak aku laksana pakar politik yang mengamati dan menyimpulkan ini politik dinasti. Ini boleh itu tak boleh.
Sementara, tadi saat aku jalan pagi diselingi jogging. Aku lihat seseorang membuang sampah sembarangan. Dan kulihat pula seorang anak sekolah berseragam naik motor tanpa helm melintas di depanku. Aku biarkan. Aku tak peduli.Hal-hal kecil. Pelanggaran kecil. Aku biarkan.Terus kok aku sok-sokan urusi hal-hal besar?Seolah aku seorang pakar?
Jujur kah diriku ini?
Hipokrit kah diriku ini?
Aaahh...mestinya sebagai seorang warga aku harus memulai membenahi hal-hal kecil. Dimulai dari lingkungan terkecil. Keluarga. Lalu baru urusi yang lebih besar. Komplek perumahan misalnya.
Lalu berangkat urusi yang lebih besar lagi. Desa. Kampung. Kelurahan. Kecamatan. Kabupaten. Propinsi....
Barulah kemudian aku bisa ikut berperan serta urusi bangsa dan negara.
Barulah kelak aku boleh dan bisa dan pantas kritiki pemimpin negara.
Jakarta, 31 Oktober 2023
Andy Tirta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H