Mohon tunggu...
Andy Tirta
Andy Tirta Mohon Tunggu... Sales - Peace comes from within, don't seek it without.

Peace comes from within, don't seek it without.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajarlah Berempati pada Sesama di Masa Pandemi Covid-19

15 Mei 2020   07:12 Diperbarui: 15 Mei 2020   07:12 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya lahir dari keluarga kelas menegah ke bawah. Saat saya lahir hingga SMP, orangtua saya belum mampu membeli rumah. Kami masih sewa rumah.

Saya paham hidup miskin itu seperti apa. Lingkungan tempat tinggal pun lingkungan orang-orang miskin. Mata saya sering melihat kondisi keluarga-keluarga kelas menengah ke bawah. Rumah-rumah berada dalam gang-gang sempit. Rumahnya sempit dan kumuh. Lantainya semennya retak-retak. Tembok belepotan catnya bercak-bercak hitam dan berjamur.
Saya bersyukur meskipun tergolong miskin, tapi rumah yg dihuni kami tak masuk gang-gang sempit tapi masih bisa masuk motor. Jalan MHT namanya.

Karena hidup di lingkungan warga yang sebagian besar miskin, saya tahu sifat-sifat maupun keadaan orang-orang miskin itu.

Saya akui banyak dari mereka memiliki penyakit malas. Dan yang paling payah adalah mindset mereka. Cara berpikir mereka yang tak berani berpikir besar. Jika bapaknya bekerja sebagai supir, maka anaknya pun jadi supir atau ngojek. Sedikit bahkan tak ada yang anaknya jadi dokter. Paling bisa jadi pegawai bank atau perusahaan swasta sebagai pegawai administrasi. Clerk.

Ada yang memang pemalas. Maunya dapat duit tapi tak mau bekerja. Yang model begini banyak.

Tapi, ada juga yang rajin dan semangat bekerja. Kesana kesini cari kerja, cari bisnis. Jual ini jual itu. Bahkan saat pandemik ini sebagian sibuk jualan dan posting iklan di group-group WA. Padahal sepanjang tahun sebelum pandemik mereka itu tak pernah bersuara di group-group WA. Menyapa selamat pagi pun tak pernah. Tapi, kini, di kala pandemik, hampir setiap hari posting iklan jualan masker, sarung tangan, makanan, dll.
 
Banyak pula yang bekerja jadi buruh harian. Masuk dibayar tak masuk tak ada bayaran.

Bagi yang nasibnya sedikit lebih baik, mereka dapat diterima jadi buruh pabrik besar. Gajinya UMR atau UMP. Ada yang bisa menghemat dan ditabung. Ada yg tak bisa menabung.

Yang ber-mindset orang kaya ya bisa menabung. Bagi yang tak punya mindset orang kaya ya tak pernah bisa menabung. Habis bulan habis duit.

Rupanya, tidak saja istilah "OKB (Orang Kaya Baru)" yang dikenal, tetapi belakangan ini, di kala pandemik civid-19 melanda dunia, bermunculan orang-orang miskin baru alias OMB (Orang Miskin Baru).

OMB itu terutama berasal dari para buruh harian, para buruh pabrik bergaji UMR yang tabungannya sudah ludes karena pabrik tempatnya bekerja tutup sudah dua bulan. Atau pedagang-pedagang kecil. Termasuk para PKL. Yang tak bisa berjualan lebih dari sebulan.

Bagi yang malas tak ada semangat  ya terpaksa meminta-minta. Mengemis. Mungkin dengan kulit wajah tebal dia meminta dan mengemis asal anak-istri tak kelaparan. Tetapi, ada pula yang masih semangat mencari duit. Ada yang mencari duitnya dengan cara haram. Dan ada pula yg mencari duit dengan cara halal.

Ada seorang kawanku kerjanya supir yang sudah kehabisan uang. Sementara anak-anak dan istrinya yang masih tinggal di rumah petak kontrakan mulai tak punya beras untuk dimasak. Kawan itu kirim WA ke saya dengan kalimat pendek tapi sempat menusuk hatiku : "Boss, maaf, di rumah anak-anakku sudah tak ada beras buat makan."
Tanpa pikir lebih dari dua detik, saya langsung telpon minta dia mampir ke rumahku. Kukasih dia sedikit uang buat beli beras dan mie instan.

Akhirnya, kini, kawan itu kudengar terpaksa kerja yang haram yang tidak bisa disebutkan disini. Demi anak istrinya.

Jadi, saya ingin menyampaikan bahwa dengan kondisi covid-19, dan sudah dua bulan lebih PSBB, jangan pernah ada orang yang sok menasehati orang lain untuk tidak mengeluh, mengemis, tak meminta-minta. Jangan pula  sok berkata hayoo semangat, masak hidupi anak istri saja tak mampu. Orang-orang yang berpikir dan berkata seperti itu adalah orang yang tidak berempati pada orang lain yang kondisi dan keadaannya berbeda dengan dirinya. Mungkin yang berkata seperti itu punya tabungan. Masih punya kerjaan yang bisa menghasilkan. Atau masih bisa menjual cincin atau kalung emasnya.

Tetapi, bagaimana dengan buruh harian toko yang toko tempatnya bekerja diharuskan tutup selama PSBB? Dia tak punya tabungan. Dia kehabisan beras. Dia sudah jual cincinnya yg berbatu akik cuma dihargai 30.000 dan sudah dibelikan obat batuk buat anaknya. Dia mau jual sepeda ontelnya yang reot tapi tak ada yg mau beli. Dia mau meminta tapi dia pemalu. Kulit wajahnya tipis. Tak mampu dia menadahkan tangan mengemis dan meminta. Dia mau ketuk pintu tetangga kiri-kanannya untuk meminjam beras. Namun, tetangga kiri-kanannya pun sesama buruh harian. Yang sama-sama kehabisan beras dan uang pula.

Terus dia mau kemana cari beras? Ya, hanya beras. Tak usah ikan, ayam atau daging.
Dia mau kerja apa saja asal halal. Tapi, semua toko tutup. Pabrik-pabrik tutup. Dia datang ke pak RT tapi kata RT dia tak terdaftar dalam bantuan sosial.
Terus dia mau kemana cari beras?
Ya, cuma beras. Tak perlu ikan, ayam atau daging.

#BadaiPastiBerlalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun