Mohon tunggu...
Andy Tirta
Andy Tirta Mohon Tunggu... Sales - Peace comes from within, don't seek it without.

Peace comes from within, don't seek it without.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Singapura, Cantik tapi Mahal

24 Desember 2018   22:17 Diperbarui: 24 Desember 2018   22:52 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika Anda jalan-jalan dan shopping di Singapura, Anda jangan buru-buru dulu memuji-muji kemajuan negeri Singa itu. Anda tentu saja akan memuji Singapura yg bersih, tertib, teratur, disiplin. Singapura tentu beda dengan Jakarta misalnya.

Di Jakarta setiap orang bisa membuang sampah di sembarang tempat. Merokok dimana pun dan membuang puntung rokok di mana saja, termasuk sambil merokok saat menyetir dan menjentikkan abu rokok ke atas aspal.  Anda pun akan biasa melihat para penumpang taksi yg rela antri menunggu taksi dan tak ada seorang pun yg berani menyerobot antrian.

Anda takkan melihat motor yang berjalan di atas trotoar. Di Singapura trotoar khusus diperuntukkan bagi pejalan kaki yg disebut 'pedestrian'.
Di Singapura tidak akan terlihat pula mobil-mobil, taksi atau bus yg ngetem parkir di sembarang tempat mencari penumpang.

Tetapi Anda coba lebih jeli sedikit. Saat Anda masuk ke mall ingin shopping atau Anda sedang di Changi Airport dan Anda masuk ke toilet sekedar untuk 'passing water', maka Anda bisa melihat petugas kebersihan yg bertugas adalah pria berusia di atas 50 tahun. Tak ada anak muda berusia di bawah 40 tahun yg bekerja sebagai petugas kebersihan toilet.  Pemandangan seperti itu juga akan Anda lihat saat makan di tempat-tempat makan baik yg berada di Changi Airport maupun di tempat-tempat lain di Singapura.

Sebut saja misalnya di kawasan China Town tepatnya di People Park disana banyak terdapat tempat makan yg menyediakan Chinese Food. Hampir semua petugas kebersihan, waiter atau waitress adalah orang-orang berusia di atas 40-50 tahun.

Petugas-petugas hotel tempat saya menginap di kawasan Orchad Road yg bertugas mengatur keluar masuk mobil dan taksi juga adalah pria-pria berusia di atas 50 tahun.

Coba lagi amati saat Anda shopping di mall di kawasan Orchad Road. Anda akan melihat para pramuniaga yg di Jakarta disebut SPG (Sales Promotion Girl) sebagian adalah ibu-ibu, wanita-wanita berusia di atas 40 tahun.

Di Indonesia rasanya sulit menemukan SPG yg berusia di atas 40 tahun, bukan?

Saya sempat naik taksi yg drivernya seorang pria berusia 70-an. Tetapi, driver itu masih gesit menyetir.

Dia mengeluh katanya hidup di Singapura rada berat. Biaya hidup di Singapura tinggi. Bagi yg berpenghasilan per bulan 1.000 - 3.000 dolar Singapura masih terasa berat, katanya.  Dia memberi contoh bahwa makan mie semangkok paling murah 3 dolar. Itupun jika makannya di tempat biasa.

Jika makan mie di mall, maka harga semangkuk bisa sampai 7 - 9 dolar. Dan yg terberat katanya adalah biaya sewa tempat tinggal atau menyicil apartemen. Di Singapura harga tanah sangat mahal.

Makanya, jika tidak kaya beneran rasanya sulit bisa membeli rumah yg menempel di tanah (landed house). Oleh karena itu, di Singapura banyak dibangun rumah vertikal yakni rumah susun  atau apartemen.

Para anak muda di Singapura mana mau bekerja menjadi petugas kebersihan (cleaning service),  SPG, supir taksi. Saya tak tahu apa penyebabnya. Mungkin karena faktor gengsi atau barangkali karena para pemuda di Singapura rata-rata teredukasi sehingga mereka tidak mau lagi bekerja kasar? 

Di tambah pula di Singapura masih ada wajib militer. Makanya, para pekerja seperti penjaga toko, SPG, asisten rumah tangga banyak diimpor dari Indonesia dan Philipina.

Sementara, karena biaya hidup yg tinggi, mau tak mau, orang-orang berusia tua masih harus bekerja. Minimal mereka tidak membebani anak-anak mereka yg juga berat dalam mencari nafkah.

Setelah kita tahu sedikit cerita tentang Singapura, maka kita mestinya bersyukur hidup sebagai warga negara Indonesia. Yang belum serumit hidup di Singapura.

Singapura memang terlihat indah, cantik, dan glamor dari brosur-brosur promosi bagi para turis dan indah bagi para 'Shopaholic'.

Yang harus kita pelajari dari Singapura adalah bagaimana menerapkan aturan hukum yg tegas sehingga membuang puntung rokok pun bisa bikin orang jera dan takut. Sementara, di Indonesia memukul orang laksana samsak bagai tindakan biasa dan tidak membuat efek jera.

Kemudian, kita bangsa Indonesia, memang harus belajar dari Singapura dalam hal hidup bertoleransi. Di Singapura antar etnis hidup rukun damai saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun