Mohon tunggu...
Andi Susilawaty
Andi Susilawaty Mohon Tunggu... Dosen - UIN Alauddin Makassar

Andi Susilawaty, asal Makassar adalah ibu dari 4 orang anak yang saat ini aktif belajar menyelami dunia literasi. Ia pengagum kehidupan, pemerhati lingkungan dan pecinta semesta.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Konsep Healthy City: Upaya Membangun Masyarakat Sehat

2 Juni 2022   07:00 Diperbarui: 2 Juni 2022   07:07 1379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tahukah anda bahwa sekarang ini, lebih dari separuh populasi manusia di bumi bermukim di kantong-kantong perkotaan? Dan diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai 5 milyar di tahun 2030. 

Pada saat yang sama, seiring pertumbuhan penduduk kota dunia yang sangat pesat (dari 220 Juta menjadi 2.8 Milyar) selama kurun waktu abad ke 21 maka beberapa dekade ke depan, angka-angka fantastis dari pertumbuhan kota ini akan dapat disaksikan di negara-negara yang sedang berkembang.

Pada era modern sekarang ini, kota memiliki dua peran sekaligus yaitu sebagai sumber ancaman yang serius dan juga sebagai sumber inovasi-inovasi dibidang kesehatan masyarakat. 

Lebih dari itu, untuk memahami sebab-sebab dari kejadian sehat dan sakit serta untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dibutuhkan suatu kesadaran yang lebih baik tentang bagaimana karakteristik-karakteristik dari kota yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan warganya. Di beberapa dekade terakhir, hal ini diusung dalam konsep “Healthy City”.

Lingkungan perkotaan mempengaruhi semua aspek kehidupan dan kesehatan masyarakatnya: apa yang mereka makan, udara yang mereka hirup, air yang mereka minum, tempat dimana mereka bekerja, rumah yang mereka huni, pelayanan kesehatan seperti apa yang mereka butuhkan, bahaya yang mungkin saja mereka dapati di jalan, serta dukungan emosional dan keuangan seperti apa yang tersedia.

Coulanges sebagaimana yang dikutip oleh Jennings (2001) dalam tulisannya “From the urban to the civic: the moral possibilities of the city", menjelaskan tentang konsep kota (city) dari sudut pandang historis dan bahasa. Dalam bahasa Yunani maupun Latin, konsep tentang kota masing-masing mempunyai dua makna yang berbeda yang disimbolkan dalam dua kata yang berbeda.

Istilah kota (city) dalam bahasa Yunani kuno merujuk pada asty dan polis. Sedangkan dalam bahasa Latin istilah yang sama merujuk pada urbs dan civitas. Sebuah urbs (atau asty) adalah sebuah tempat yang pada awalnya merupakan sebuah lokasi yang berfungsi sebagai tempat berkumpul untuk melaksanakan fungsi-fungsi ritual keagamaan (religious), yang mana di kemudian hari berubah menjadi sebuah pusat aktivitas transaksi-transaksi komersial, pertukaran barang dan industrialisasi lainnya.

Akibat perubahan fungsi tersebut, urbs, pada gilirannya juga berubah makna menjadi sebuah tempat dimana segala sesuatu dan semua orang mempunyai nilai sendiri-sendiri, sebuah tempat untuk perdagangan dan pertukaran komoditas.

Akibatnya, gaya hidup masyarakat dalam wilayah ini berubah bentuk didasari oleh hubungan pasar sejak beralih fungsi sebagai tempat memperoleh barang-barang keperluan pribadi dan pemenuhan berbagai kebutuhan hidup lainnya. Di awal masa modern, urbs juga menjadi sebuah ruang yang menempatkan “keistemewaan” bagi individualisasi, privasi, dan kerahasiaan (Jennings, 2001).

Sebaliknya, konsep tentang civitas dalam bahasa Latin (atau polis/politeia dalam bahasa Yunani) dikonotasikan dengan sebuah komunitas politik dan nilai moral yang dibentuk dengan tujuan untuk memperoleh hidup yang lebih baik dan merealisasikan bentuk tertinggi dari eksistensi umat manusia yang prima. 

Civitas atau polis merupakan sebuah struktur penduduk yang dibentuk atas dasar hubungan timbal balik, kesetaraan, keadilan dan aturan-aturan keseimbangan.

Tujuannya bukan hanya pada sekedar pemenuhan kepentingan tetapi lebih pada pengembangan kemakmuran dan kesejahteraan umat manusia. Konsep ini bukannya menjamin hak-hak dan kebebasan yang sifatnya negatif bagi warganya (individualism), akan tetapi lebih cenderung kepada hak-hak dan kebebasan yang bersifat positif (seperti hubungan timbal balik, saling menolong, dan pengembangan diri).

Kedua konsep tersebutlah yang membentuk pengembangan sebuah kota. Kota dengan berbagai hal yang ditawarkannya mampu menarik perhatian orang yang berada di luar kota untuk tinggal di sana – seperti ketersediaan pekerjaan, pendidikan, kesempatan sosial dan budaya, akses ke pertokoan, tempat-tempat makan, pelayanan kesehatan dan pelayanan jasa lainnya. 

Segala ketersediaan barang dan jasa inilah yang membuat kota menjadi tempat terbaik untuk hidup. Dengan sederatan fakta-fakta tersebut, manajemen yang tepat bagi sebuah kota merupakan hal yang penting untuk menjamin kualitas kehidupan yang terbaik baik bagi kesehatan masyarakat maupun lingkungan.

Disamping itu dituntut pula adanya sebuah alternatif konsep pembangunan yang dapat mewujudkan kehidupan yang lebih “sehat”, dalam pengertian setiap sektor kehidupan masyarakat dapat berjalan normal sebagaimana layaknya, di mana rasa kepemilikan (sense of belonging) masyarakat terhadap kotanya tumbuh secara sadar. Sebuah program pembangunan yang mengkondusifkan kota dan komunitasnya menjadi sehat (healthy cities-communities).

Sesungguhya kota yang sehat tidak bisa dilepaskan dari komunitasnya yang juga sehat; sehat lingkungan, sosial dan ekonominya. Dalam tulisannya yang berjudul Healthy Cities-Healthy Communitie (1990), Joe Flower memberi batasan tentang komunitas yang sehat (healthy community) sebagai “A Community that nurtures its members, that gives us all more, and makes us all larger than we were”.

Dalam upaya merespon isu tersebut, organisasi kesehatan dunia (WHO) merancang sebuah konsep tentang Kota Sehat (Healthy City Initiative). Konsep Kota Sehat bukan berarti hanya sekedar pencapaian suatu tingkat kesehatan tertentu, akan tetapi berarti sebuah kesadaran akan kesehatan dan upaya untuk meningkatkannya (WHO – Regional Office for Africa, 2012).

Paradigma baru dalam kesehatan masyarakat itu ditandai dengan:

  1. Pendekatan multdisplin dan multisektor untuk meningkatkan kesehatan masyarakat.
  2. Difokuskan pada promosi kesehatan yang menyadari bahwa faktor lingkungan dan infrastruktur lebih besar dampaknya daripada perilaku. Promosi kesehatan yang dimaksud bukan kampanye penyuluhan kesehatan akan tetapi merupakan serangkaian kegiatan yang terdiri atas 1) upaya menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan, 2) mengembangkan ketrampilan individu, 3) menguatkan aksi masyarakat, 4) reorientasi pelayanan kesehatan, 5) membangun kebijakan publik yang mendukung kesehatan ‘healthy public policy’.
  3. Pengembangan masyarakat adalah kunci strategi untuk membawa perubahan yang lebih baik.
  4. Mengenal pentingnya kebijakan nasional, regional, dan lokal yang berkaitan dengan upaya kesehatan masyarakat.

Untuk mencapai tujuan-tujuan dari program Kota Sehat tersebut, berbagai studi telah dilakukan guna mengevaluasi dan memberikan gambaran mengenai strategi-strategi yang dapat diimplementasikan untuk peningkatan kesehatan masyarakat yang berkesinambungan. 

Walczak (2002) mengemukakan dalam tulisannya bahwa untuk menciptakan sebuah komunitas yang sehat ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain: mendorong penguatan kepemimipinan di tingkat warga, masyarakat dan pemerintah, serta lembaga-lembaga lainnya untuk menciptakan atau meningkatkan suatau “rasa” untuk memiliki bersama adalah merupakan hal yang paling penting. 

Disamping itu pula, memberikan perlengkapan kepada masyarakat, penyediaan fasilitas bagi seluruh warga, serta membangun sebuah sistem nilai juga sangat dibutuhkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun