Koperasi di negara maju berkedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi. Derap modernitas masyarakat dan perekonomian tak sedikit pun memiliki korelasi negatif terhadap perkembangan koperasi dan vice versa.
Menelusuri jalan historis, sukar menemukan bukti bahwa koperasi menjadi lebih buruk dibanding entitas lainnya di tengah hantaman badai krisis. Kekuatan ekonomi yang memiliki durabilitas terhadap krisis inilah yang acapkali luput dari hiruk pikuk peradaban.
Letak koperasi kini lebih sebatas jargon dan perlu diakui bahwa perjalanan pengembangannya kian suram. Pusparagam kendala pengembangan baik eksternal maupun internal, dan kontribusi minim telah menggerus status quo sokoguru perekonomian. Karut marut itu mulai dari tambal sulam kebijakan dan gerusan citra hingga vis-a-vis kerangka yang penuh kerentanan imbas lonjakan 'inovasi'.
Transformasi koperasi cenderung terpinggirkan. Tak heran kini dipandang dari kacamata hitam sehingga terlihat jadul dan tidak kompetitif sesuai tuntutan zaman. Simpul ikatan ekonomi kerakyatan pun seolah terputus. Imbal hasil proporsional membuat eksistensinya kurang diminati.
Selain itu, permodalan dan daya saing pun selalu menjadi soal yang seolah tak kunjung usai. Belum lagi, belakangan tampak celah regulasi membidani praktik mafia keuangan di industri koperasi. Wajar bila kemudian perkembangan koperasi tak begitu menggembirakan di tanah air.
Sengkarut langgeng dan pusparagam problematika lantas membuat basis digital seperti teknologi finansial (tekfin) memainkan peran pengganti ideal koperasi sebagai solusi mujur kebutuhan UMKM dan individu. Tekfin menjadi pilihan utama untuk menjawab kebutuhan di masa sulit. Pendanaan usaha dan pinjaman personal seperti instant money dan paylater sungguh bisa didapatkan dalam hitungan detik.
Proses yang mudah dan cepat itu tersedia pada berbagai platform. Solusi urusan pelik hingga remeh-temeh semuanya ada. Praktis, mempertahankan eksistensi koperasi lalu membutuhkan kepedulian dan peran yang lebih luas demi restrukturisasinya. Tugasnya berat, sebab memastikan keberhasilan fungsi moral dan ekonomi koperasi berlangsung sukses. Lantas bagaimana orientasi pengembangan koperasi sejati mesti dilakukan?
Sayup-sayup Sang Sokoguru
Wara-wiri inovasi melambungkan aktivitas kreatif dan membuat transformasi pada pahlawan ekonomi sejati cenderung terpinggirkan. Beberapa di antaranya sungguh memiliki konsep yang erat dengan koperasi, hanya julukan kekiniannya sebagai koperasi digital yang mandiri.
Konsep ini menawarkan cara baru dalam membayar dan mengelola keuangan atau sering dilabeli sebagai alternatif perbankan. Gabungan komponen blockchains, smart contracts, mata uang digital, dan nonfungible tokens oleh Web3 inilah yang dengan cepat menyebar sebagai alternatif di industri keuangan. Bukan hanya efisien, melainkan juga bauran inklusivitas, keterbukaan, dan desentralisasi menjadikannya kian populer.
Sama seperti tekfin, Web3 juga mengusung modern value propositions disertai spirit dan struktur yang tak jauh berbeda dengan koperasi. Wajar bila kemudian Web3 bersama dengan tekfin digandrungi dan digadang-gadang akan mengubah dunia keuangan.
Selain memang riuh rendah mega tren demi menjadi bangsa yang maju, digitalisasi selalu lekat dengan efektivitas mitigasi risiko. Konsep yang bertolak pada aktivitas 'kreatif' ini tentu juga lebih efektif mengurangi biaya (hidden cost)Â dan mereduksi risiko volatilitas.
Sebagaimana umumnya, digitalisasi menurunkan biaya transaksi dan rupa-rupa ketidakpastian. Penurunan biaya-biaya secara persisten pada muaranya akan meredam risiko inflasi yang bersifat sekuler. Bukan hanya memungkinkan pengurangan harga, melainkan juga menjaga fluktuasi lebih dimungkinkan dengan inovasi sana-sini.
Terlebih, risiko dewasa ini kian kompleks, meliputi krisis utang, konflik kepentingan, kenaikan tingkat inflasi, ketimpangan digital, dan kontestasi geopolitik menurut Forum Ekonomi Dunia (WEF). Bangsa ini pun tentu tak lepas dari ketidakpastian tinggi yang berpotensi menyundut krisis, mulai dari keuangan hingga pangan.
Kompleksitas tekanan itu kian melegitimasi peran penting lembaga keuangan berbasis teknologi sebagai penyedia pembiayaan bagi UMKM yang umumnya memiliki keterbatasan informasi profil dan belum memenuhi persyaratan manajemen risiko. Alhasil, Tekfin lalu menjamur sebagai solusi atas masyarakat unbanked dan underserved. Buktinya, menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada November 2022 mencapai Rp 50,29 triliun.
Dari oustanding itu, sekitar 85% merupakan kredit perseorangan dan sisanya badan usaha. Meskipun, catatannya ada pada tunggakan atau kredit macet lebih dari 90 hari yang mencapai Rp 1,42 triliun.
Hanya saja, lesatan kredit usaha mikro yang mencapai total hampir Rp 1.300 triliun atau pada posisi Rp 476 triliun pada Desember 2022 itu minor peran koperasi, di mana posisi oustanding November 2022 hanya sebesar Rp 242,02 miliar.
Selain laju digitalisasi, tantangan koperasi pun kian pelik. Sederet permasalahan mulai dari permodalan, kurang perhatian pemerintah dan regulasi mumpuni, hingga kecenderungan daya saing dan sumber daya manusia yang lemah menghinggapi sang kendaraan sosialis modern. Bahkan, belakangan mulai berkembang pula koperasi zombie yang bukan hanya merugikan masyarakat, melainkan juga menggerus citra koperasi secara keseluruhan.
Derita dibalik pretensius pertumbuhan itu sangat nyata. Dengan jumlah koperasi aktif mencapai 130.363 dan aset Rp 281 triliun serta volume usaha mencapai Rp 197,8 triliun dan 35,26 juta anggota, koperasi yang lemah regulasi memiliki celah lebar dimanfaatkan mafia keuangan. Alhasil, praktik shadow banking yang melanda industri koperasi pun turut menciderai kepercayaan publik. Gerakan ekonomi rakyat ini tak lagi aman dari ganasnya rampokan mafia keuangan.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) menyatakan sendiri bahwa ada 8 koperasi simpan pinjam (KSP) yang gagal bayar sewaktu pandemi Covid-19. Indosurya hanya satu di antaranya yang mengumpulkan dana masyarakat untuk diinvestasikan di grupnya sendiri tanpa batas minimum pemberian kredit.
Aneh bin ajaibnya, ekosistem kelembagaan koperasi yang lemah ini sudah berlangsung begitu lama tapi tidak dibenahi. Pembenahan utama yang dibutuhkan terkait dengan sistem pengawasan dan bail out.
Dalam UU No. 25 Tahun 1992, kegiatan koperasi dilakukan dan diregulasi dirinya sendiri. Dengan lain kata, pengawasan yang di mana pengawasnya pun diangkat oleh koperasi itu sendiri. Jelas bahwa regulasi ini hanya memberi ruang pengawasan epidermis di mana regulator sebatas menerima laporan rapat anggota tahunan saja.
Selain itu, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam pun hanya mengatur sanksi administratif. Celah 'fungsi pengawasan' Kemenkop UKM dan pengawasan praktik jasa keuangan (open loop) di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) inilah yang sangat mungkin dimanfaatkan.
Contohnya saja KSP Indosurya yang menjalankan praktik jasa keuangan, tetapi entitasnya berbadan hukum KSP. Risiko kemudian akan menjadi sangat besar ke depan mengingat entitas penyedia keuangan berbasis teknologi bagi UMKM pun membutuhkan koperasi.
Arah Pengembangan dan Menjaga MarwahÂ
Orientasi pengembangan koperasi perlu diperjelas terlebih dahulu sebelum menyusun formulasi kebijakannya. Jangan salah kaprah dengan istilah koperasi modern. Gambaran konkretnya sebagai gerakan ekonomi yang mampu menembus pasar terbuka atau sebatas penyesuaian teknis dengan pemanfaatan teknologi. Peran strategisnya dalam pembangunan dan prinsip-prinsip hakikinya serta nilai-nilai koperasi sejati perlu dikedepankan agar pengembangannya tak hanya berakhir dengan garbage in garbage out.
Pada dasarnya, membenahi dan melengkapi ekosistem kelembagaan itu mutlak dibutuhkan. Hanya saja, komitmen untuk merevisi UU No. 25 Tahun 1992 mesti berpegang pada prinsip kontinuitas pengembangan koperasi.
Sejauh ini, rencana pembentukan Otoritas Pengawas Koperasi (OPK), mengonstruk sistem penjaminan nasabah dan pembentukan holding koperasi sekunder bisa dikatakan semuanya lebih bermuara pada customer-centric. Tepat pada titik inilah harus berhati-hati dalam melakukan revisi ekosistem kelembagaan mengingat marwah koperasi itu sendiri dan prinsip-prinsipnya.
Respons kebijakan untuk membawa perubahan mendasar dalam bidang-bidang utama UU Koperasi mesti mengedepankan otonomi, akuntabilitas, dan transparansi fungsi demi menciptakan tata kelola yang baik. Selain itu, perlu dipertimbangkan juga aspek registrasi dan manajemen koperasi yang seturut regulasi, tetapi mengedepankan independensi.
Tanggapan otoritas negara seyogianya tak lebih dari membuat kerangka yang memungkinkan koperasi dapat mereformasi dan merestrukturisasi dirinya sendiri. Syukur-syukur bisa bertransformasi sampai neo cooperative. Praktis pada titik ini integritas koperasi dengan model tata kelola kelembagaan yang khas, serta prinsip dan nilai yang telah diabadikan lebih dari 200 tahun di jantungnya mesti dihormati.
Koperasi bukan instrumen untuk mencapai tujuan yang ditetapkan lembaga eksternal. Peran utama mereka adalah memenuhi kebutuhan anggotanya. Maka, penting untuk mengetengahkan prinsip membiarkan koperasi menjadi koperasi. Sejarah panjang dan tata kelola koperasi yang khas ini perlu dijadikan cagar budaya dalam membangun ekosistem kelembagaannya.
Langkah strategis korporatisasi koperasi seperti di berbagai negara maju membutuhkan komitmen kuat untuk melindungi kontrol anggota yang demokratis, otonomi dan kemandirian, serta keanggotaan yang tetap sukarela.
Selain itu, koperasi sejati sendiri perlu merangkai produk yang komprehensif dan fokus pada kesejahteraan anggota dengan inovasi dan mendorong proposisi nilai modern memanfaatkan keragaman anggota dan kekuatan jaringan di dalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H