Sama seperti tekfin, Web3 juga mengusung modern value propositions disertai spirit dan struktur yang tak jauh berbeda dengan koperasi. Wajar bila kemudian Web3 bersama dengan tekfin digandrungi dan digadang-gadang akan mengubah dunia keuangan.
Selain memang riuh rendah mega tren demi menjadi bangsa yang maju, digitalisasi selalu lekat dengan efektivitas mitigasi risiko. Konsep yang bertolak pada aktivitas 'kreatif' ini tentu juga lebih efektif mengurangi biaya (hidden cost)Â dan mereduksi risiko volatilitas.
Sebagaimana umumnya, digitalisasi menurunkan biaya transaksi dan rupa-rupa ketidakpastian. Penurunan biaya-biaya secara persisten pada muaranya akan meredam risiko inflasi yang bersifat sekuler. Bukan hanya memungkinkan pengurangan harga, melainkan juga menjaga fluktuasi lebih dimungkinkan dengan inovasi sana-sini.
Terlebih, risiko dewasa ini kian kompleks, meliputi krisis utang, konflik kepentingan, kenaikan tingkat inflasi, ketimpangan digital, dan kontestasi geopolitik menurut Forum Ekonomi Dunia (WEF). Bangsa ini pun tentu tak lepas dari ketidakpastian tinggi yang berpotensi menyundut krisis, mulai dari keuangan hingga pangan.
Kompleksitas tekanan itu kian melegitimasi peran penting lembaga keuangan berbasis teknologi sebagai penyedia pembiayaan bagi UMKM yang umumnya memiliki keterbatasan informasi profil dan belum memenuhi persyaratan manajemen risiko. Alhasil, Tekfin lalu menjamur sebagai solusi atas masyarakat unbanked dan underserved. Buktinya, menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada November 2022 mencapai Rp 50,29 triliun.
Dari oustanding itu, sekitar 85% merupakan kredit perseorangan dan sisanya badan usaha. Meskipun, catatannya ada pada tunggakan atau kredit macet lebih dari 90 hari yang mencapai Rp 1,42 triliun.
Hanya saja, lesatan kredit usaha mikro yang mencapai total hampir Rp 1.300 triliun atau pada posisi Rp 476 triliun pada Desember 2022 itu minor peran koperasi, di mana posisi oustanding November 2022 hanya sebesar Rp 242,02 miliar.
Selain laju digitalisasi, tantangan koperasi pun kian pelik. Sederet permasalahan mulai dari permodalan, kurang perhatian pemerintah dan regulasi mumpuni, hingga kecenderungan daya saing dan sumber daya manusia yang lemah menghinggapi sang kendaraan sosialis modern. Bahkan, belakangan mulai berkembang pula koperasi zombie yang bukan hanya merugikan masyarakat, melainkan juga menggerus citra koperasi secara keseluruhan.
Derita dibalik pretensius pertumbuhan itu sangat nyata. Dengan jumlah koperasi aktif mencapai 130.363 dan aset Rp 281 triliun serta volume usaha mencapai Rp 197,8 triliun dan 35,26 juta anggota, koperasi yang lemah regulasi memiliki celah lebar dimanfaatkan mafia keuangan. Alhasil, praktik shadow banking yang melanda industri koperasi pun turut menciderai kepercayaan publik. Gerakan ekonomi rakyat ini tak lagi aman dari ganasnya rampokan mafia keuangan.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) menyatakan sendiri bahwa ada 8 koperasi simpan pinjam (KSP) yang gagal bayar sewaktu pandemi Covid-19. Indosurya hanya satu di antaranya yang mengumpulkan dana masyarakat untuk diinvestasikan di grupnya sendiri tanpa batas minimum pemberian kredit.
Aneh bin ajaibnya, ekosistem kelembagaan koperasi yang lemah ini sudah berlangsung begitu lama tapi tidak dibenahi. Pembenahan utama yang dibutuhkan terkait dengan sistem pengawasan dan bail out.