Menjadi pengangguran atau tidak memiliki pekerjaan bukanlah kondisi yang menyenangkan. Dapat dikatakan ini adalah salah satu bentuk kegagalan dalam hidup yang paling ditakuti manusia. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi pengangguran, salah satunya bisa karena malas, belum beruntung, tidak memiliki skill atau juga karena terpaksa.
Nah kali ini saya ingin membahas tentang pengangguran karena terpaksa, khususnya yang berkaitan dengan penyebaran pandemi Covid-19 yang memaksa sebuah kondisi untuk menjadi "pengangguran".
Sebagaimana kita ketahui, banyak sekali pekerja terseret gelombang pemecatan massal akibat lesunya industri di masa pandemi Covid-19. Suramnya penjualan, ditambah imbauan pemerintah agar pengusaha menerapkan sistem bekerja dari rumah untuk mencegah meluasnya penyebaran Covid-19, memaksa banyak pabrik dan perusahaan menghentikan produksinya.
Penghentian operasi produksi ini juga berdampak terhadap nasib pekerja lain yang tak berkaitan langsung dengan kegiatan produksi seperti distributor, perusahaan pembiayaan, hingga IKM pemasok suku cadang sampai penjual makanan disekitar lokasi produksi.
Sampai dengan tanggal 7 April 2020, Â Kementerian Ketenagakerjaan RI telah merilis data yang menyebutkan sebanyak lebih dari 39 ribu perusahaan telah memecat 137 ribu pekerja dan telah merumahkan 873 ribu lainnya.
Jumlah ini melebihi gelombang PHK massal yang terjadi di Indonesia sebagai imbas krisis keuangan (krismon) tahun 2008. Kala itu, hingga akhir bulan Januari 2009, Kementerian PPN/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merilis data bahwa ada sebanyak 27 ribu orang terkena PHK massal.
Dalam kondisi wabah Covid-19 seperti sekarang, angka pengangguran di Indonesia berpotensi melonjak lebih jauh hingga jutaan jika tidak segera ditemukan solusinya.
Tren peningkatan jumlah orang yang terjangkit Covid-19 dan yang meninggal akibat virus itu  berpotensi meningkatkan teror ketakutan masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi mengingat pandemi ini tak hanya menyebabkan pekerja kehilangan pekerjaan, tapi juga mengancam kaum muda, yang bakal lebih sulit mencari kerja. Bahaya lanjutan yang sudah menunggu didepan mata adalah meningkatnya angka kemiskinan. Di Indonesia, kelompok rentan yang tergelincir ke jurang kemiskinan sepanjang tahun ini diperkirakan sebanyak 2 juta jiwa. Situasinya makin buruk karena adanya ketidakpastian, yaitu tidak ada yang bisa memprediksi dengan pasti kapan pandemi akan berakhir.
Pemerintah merespon hal ini dengan menaikkan belanja kesehatan bertambah Rp 75 triliun dan jaring pengaman sosial bertambah Rp 110 triliun. Dari belanja jaring pengaman sosial itulah pemerintah mengantisipasi besarnya potensi pengangguran karena pemecatan massal atau PHK. Dana Kartu Prakerja dilipatgandakan menjadi Rp 20 triliun.
Alokasi bantuan sosial untuk Program Keluarga Harapan dinaikkan menjadi Rp 37,4 triliun untuk 10 juta keluarga miskin. Begitu pula Kartu Sembako sebagai dana bantuan sosial pangan kini disiapkan anggaran Rp 43,6 triliun untuk 20 juta penerima.
Itu solusi yang telah diberikan pemerintah, meski realisasinya masih butuh kerja keras. Di sisi lain, ada masalah ketersediaan data ketika pemerintah akan merealisasikan program penyelamatan pemerintah bagi kaum buruh di Indonesia. Â Diharapkan perusahaan juga melaporkan data pekerja yang diberhentikan atau dirumahkan kepada kantor dinas tenaga kerja setempat untuk kemudian disampaikan ke Kementerian Ketenagakerjaan.
Kementerian Perindustrian juga tampak aktif melakukan upaya penyelamatan dengan merealokasi anggarannya sebesar Rp 113,15 miliar untuk menangani dampak Covid-19. Anggaran lebih difokuskan untuk menumbuhkan wirausaha baru bagi korban PHK dan yang dirumahkan. Kementerian ini berencana memfasilitasi IKM mendapatkan kredit usaha rakyat yang lebih mudah dari perbankan milik negara.
Hal ini juga tak lolos dari kritik. Masih ada yang mengkhawatirkan bahwa pemberian stimulus kepada industri tanpa penilaian yang komprehensif justru akan menjadi celah terjadinya moral hazard.
Dalam situasi kondisi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) seperti sekarang, bantuan langsung tunai dan pangan adalah program yang paling ditunggu oleh golongan 30 persen keluarga termiskin.
Stimulus jangka pendek terbaik adalah untuk orang miskin, penganggur, korban PHK, agar bisa bertahan hidup. Fokus terbaik saat ini seharusnya adalah pada penanganan virus dan membantu masyarakat yang rentan. Dan ini butuh ketegasan.
Dari sisi psikologis masyarakat, diperlukan upaya-upaya yang bersifat motivasi untuk memberikan dorongan semangat masyarakat ditengah ketidakpastian.
Saat rasa putus asa datang karena sebuah kondisi yang disebut pengangguran ini, maka secepatnya pemerintah agar menyemangati untuk dapat bangkit dengan kampanye-kampanye atau berita bersifat positif. Jangan biarkan rasa tersebut ada hingga berlarut-larut, bahkan sampai menghambat masyarakat untuk melangkah maju *** (ASP, 2020)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H