Sepanjang pengalaman saya menjelajahi pelosok-pelosok negeri ini, banyak sekali kisah-kisah inspiratif dari masyarakat di hutan yang telah melakukan hal-hal luar biasa untuk mengubah dunianya menjadi lebih baik namun jarang terekspose.
Mengelola hutan memang suatu hal yang tidak mudah, dan pasti setiap orang yang tinggal didalam dan sekitar hutan menginginkan wilayahnya menjadi daerah menginsipirasi bagi banyak orang walau dengan keterbatasan.
Nah, disinilah pentingnya negara dimana masyarakat yang jauh dari hingar-bingar keramaian kota dapat belajar memahami persoalan dan mencari solusinya.
Kisah ini adalah tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm) Tebing Siring di Desa Tebing Siring, Kecamatan Bajuin, Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Sebelum adanya program perhutanan sosial, sebagian besar masyarakat Desa Tebing Siring bermata pencaharian sebagai buruh.Â
Pada tahun 2011, dengan  difasilitasi oleh Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan, LSM, dan Akademisi dibentuklah kelompok tani Hutan atau KTH. Terdapat 2 KTH saat itu yaitu KTH "Ingin Maju" dan KTH "Suka Maju".
Sebuah nama yang sederhana namun membangun semangat optimisme dari cita-cita sekelompok masyarakat kecil di sekitar hutan. Kelompok tani ini didesain agar selaras dengan kegiatan perhutanan sosial yang saat itu difokuskan pada penanaman tanaman karet pada lahan seluas 400 hektar.
Sampai dengan saat ini, anggota kelompok tani hutan "Ingin Maju" berjumlah 42 orang dan anggota kelompok tani hutan "Suka Maju" berjumlah 26 orang. Lahan seluas 150 hektar sudah ditanami karet dan 80 hektar sudah dilakukan proses produksi.
Sosialiasi dan pendampingan di Hkm Tebing Siring dimulai sejak tahun 2011, didukung oleh JIFFRO Jepang, Bridgestone-untuk bibit karet, dan Dinas Kehutanan setempat.
Pada tahun 2016, kelompok tani ini membangun sistem agroforestry dengan jenis tanaman seperti gamal, kaliandra, kayu putih, padi, jengkol, jambu mente, jeruk, sereh dan tanaman multi purpose tree species (MPTS) lainnya seperti buah-buahan. Pembagian hasil dari kegiatan tersebut diatur oleh internal kelompok, yaitu berdasarkan AD/ART yang dibentuk sendiri oleh kelompok.
Keberhasilan membasmi alang-alang sekaligus membuat lahan menjadi jauh lebih produktif dan semakin membaiknya tata air tanah adalah salah satu yang menyebabkan kawasan ini selalu tersedia air walau di musim kemarau. Â Dengan adanya perhutanan sosial, aktivitas produksi dan pemanfaatan hutan dapat meniadakan terjadinya kebakaran hutan.
Selanjutnya program disini  diperluas atau direplikasi untuk menyelesaikan lahan kritis berupa alang-alang baik di dalam kawasan hutan melalui skema Hutan Kemasyarakatan dan di luar kawasan hutan melalui skema Hutan Rakyat sebagaimana telah berhasil dilakukan di Tebing Siring dan Telaga Langsat.
Para pendamping baik dari unsur masyarakat maupun dari UNLAM diberikan insentif berupa demplot untuk percontohan, yang sekaligus dapat digunakan sebagai praktik mahasiswa, dan sekolah lapangan bagi kelompok tani dari tempat lain yang sedang memulai bekerja di lahan alang-alang.
Beliau mengatakan bahwa pemanfaatan hutan oleh dua kelompok tani tersebut memang dilakukan melalui kegiatan produktivitas agroforestry yaitu penanaman pohon karet, kayu gaharu, pohon jengkol, padi, lombok, labu, jagung, dan pakan lebah sejak tahun 2012.
Beliau secara intens memberikan pendampingan kepada para petani untuk melakukan produksi karet dan tanaman lainnya, termasuk upaya - upaya untuk memperoleh izin. Sebuah perjalanan Panjang untuk mendapat izin bias jadi cerita tersendiri yang tidak semudah kelihatannya.
Sejak awal pelaksanaan tersebut para petani belum mendapat izin usaha pemanfaatan (IUP), sehingga aktivitas produksi yang mereka lakukan masih bersifat ilegal.
Dengan kegigihannya, pada tahun 2013 kelompok tani ini kembali menambah 12 hektare, begitupun tahun selanjutnya 12 hektare. Para petani terus mendiversifikasi hasil perhutanan dengan menambah produksi pakan lebah pada tahun 2015.Sebuah perjuangan yang patut dipresiasi ditengah belum jelasnya izin pemanfaatan lahan hutan dari negara.
Melalui pemanfaatan lahan hutan tersebut, pada tahun 2012, mereka mendapat surat izin dari Bupati yang harus mendapat persetujuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sebelum itupun, sambal menanti persetujuan, para petani tetap konsisten menjaga dan merawat tanaman tersebut. Bahkan, banyak masyarakat yang sebelumnya bekerja di tambang emas, mulai fokus mengembangkan perhutanan sosial.
Berdasarkan hasil diskusi ini, masih banyak kendala dan permasalahan  yang dihadapi kelompok tani hutan ini baik sebelum maupun setelah adanya program perhutanan sosial. Beberapa yang sempat saya catat diantaranya adalah :
(1) Tidak adanya modal/dana untuk usaha yang sifatnya jangka panjang; (2) Kesimpangsiuran pengalokasian anggaran desa untuk kegiatan KTH dikarenakan ketidakjelasan kebijakan terkait adanya kewajiban SK notaris untuk pengajuan anggaran; (3) Aksesibilitas (jalan) sulit; (4) Masalah keterbatasan komunikasi sehingga masyarakat sulit mengakses informasi; (5) Jumlah pendamping terbatas dan terkendala faktor usia/menjelang pensiun; serta (6) Semangat yang tinggi dari kelompok untuk kegiatan perhutanan sosial tidak diimbangi dengan dukungan terkait kejelasan sistem permodalan dari pemerintah. Kelompok tani hutan berharap agar ada kegiatan pembinaan dari pemerintah terkait permodalan usaha (sistem dalam memperoleh modal usaha).
Meskipun masih banyak pekerjaan rumah, tetapi hasil saat inipun mungkin sudah membuat daerah lain iri. Â Setiap daerah tidak harus sama dalam melaksanakan pembangunan, perbedaan dalam pembangunan memang perlu dilakukan, demi mengakomodir karakteristik dan kemampuan masing-masing wilayah.Â
Membangun daerah pinggiran, bukan saja terkait kewilayahan atau geografis daerah daerah yang berdekatan dengan perbatasan negara tetangga, tetapi juga soal manusia yang terpinggirkan dan kurang mampu secara ekonomi, termasuk di dalam dan disekitar kawasan hutan.
Masyarakat di HKm Tebing Tinggi adalah contoh teladan dari kisah sukses bahwa keadaan bisa diubah. Mereka tidak menyalahkan keadaan, tapi lebih memilih bersahabat dengan keadaan itu sendiri. Usaha mencari pembenaran dalam kehidupan ini adalah sia-sia belaka.
Cobalah berkomitmen untuk mengambil tanggung jawab penuh pada hidup kita dan hadapi setiap masalah yang ada dengan percaya diri. Dan itu telah mereka tunjukkan***(ASP, 2020)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H