Kawasan hutan seluas 535 hektar di Desa Selat ini diusulkan oleh pemerintah Kabupaten Buleleng untuk dijadikan hutan raya pada tahun 2016 karena memiliki potensi landscape yang besar untuk dapat dijadikan kawasan wisata.
Rencana pengusulan didukung oleh masyarakat sehingga pihak desa membentuk petugas keamanan adat (jagawana). Hutan Raya Desa Selat dikelola secara swadaya melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dengan fokus kegiatan pada perlindungan dan konservasi.
Hal yang menarik bagi saya terkait pengelolaan hutan lestari di desa ini adalah secara turun temurun masyarakat masih menerapkan peraturan adat tebang 1 tanam 10. Aturan ini berarti bagi masyarakat yang telah menebang 1 pohon diwajibkan menanaminya kembali dengan 10 pohon dan kesepuluh pohon tersebut harus tumbuh atau masyarakat akan dikenakan denda.
Oleh karena itu, skema perhutanan sosial dengan status Hutan Lindung (HL) yang memungkinkan di Bali adalah dalam bentuk Hutan Desa (HD) karena dalam pengelolaannya masih dapat menerapkan peraturan adat.Â
Pemberian akses kelola perhutanan sosial tidak dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan (HKm) maupun Hutan Tanaman Rakyat (HTR) karena dikhawatirkan masyarakat akan menebang pohon sampai pada kawasan yang berizin. Selain dapat dikelola oleh seluruh lembaga desa, hasil dari pengelolaan kegiatannya dapat menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) setempat.
Dalam penataan ini, struktur asli hutan dibiarkan utuh (tidak ada penebangan pohon) dan hanya ditambah dengan menanam tanaman hias yang cocok ditanam di dalam kawasan hutan.
Meskipun demikian, hal yang perlu dipahami masyarakat adalah hak pengelolaan hutan desa ini bukan merupakan kepemilikan atas kawasan hutan, karena itu dilarang memindahtangankan atau mengagunkan, serta mengubah status dan fungsi kawasan hutan.Â
Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) dilarang digunakan untuk kepentingan di luar rencana pengelolaan hutan serta harus dikelola berdasarkan kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari.