Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen/ Writer

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan Penunggu Kuburan

24 Desember 2024   19:12 Diperbarui: 24 Desember 2024   19:12 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan Penunggu Kuburan

Andi Samsu Rijal

Langit di atas terlihat mendung. Perempuan itu tetap merenung. Ia memeluk erat nisan almarhum suaminya. Tampaknya ia begitu murung memikirkan nasibnya di kemudian hari. Hari ini tepat seratus hari kepergian Sudding. Almarhum suaminya, Sudding beberapa bulan lalu dikuburkan di sini, di TPA Sudiang. Tak jauh dari rumahnya. Hanya melewati landasan pesawat udara, persawahan, TPA dan sedikit semak-semak maka terlihatlah kompleks perumahan yang mereka beli dengan cara kredit dari hasil kerjanya berdua 3 tahun lalu.

Rambutnya terurai setelah sekian lama tak pernah ia perlihatkan begitu saja. Bahkan perlahan ia potong setiap kali ke kuburan, hasil potongan rambutnya ia simpan di atas nisan yang masih berupa gundukan dan sedikit penanda nama dari kayu. Hari ini sudah terganti dengan nisan batu, dipesan khusus oleh keluarganya untuk memberikan penanda bahwa Sudding bukanlah orang buangan, bukan orang biasa, melainkan ia lahir dari keluarga besar dari kabupaten sebelah yang kurang lebih 8 jam naik kendaraan roda dua atau roda empat.

Sedianya ia di rumah saja, cukup laki-laki saja yang datang ke kuburan memasang nisan. Begitu tradisi di kalangan muslim Bugis. Jika sudah masuk seratus hari kepergian seseorang maka di rumah mendiang diadakan ritual mabbaca setelah pemasangan nisan. Syukuran dilakukan untuk bersedekah berupa makanan, dilanjutkan dengan pemasangan nisan yang sebelumnya hanya gundukan tanah ditaburi bunga, papan nama  atas nama Sudding bin Magadding.

“Di atas tanah ini telah meninggal dunia seorang yang aku sayangi”.

Tidak demikian Sumila, ia ikut ke kuburan saat pemasangan nisan baru itu yang berwarna biru tua kesukaan Sudding. Rambutnya kini botak. Ia seperti lelaki. Setiap kali ia datang ke kuburan, ia seperti sakit. Menggelar tikar dan memasang payung hitam di atas balai buatannya itu.

Dulu Sumila selalu setia menemani Sudding ke kuburan. Setiap pagi terkadang pergi bersama. Kadang pula datang belakangan tergantung pemesanan. Jika musim wabah maka Sumila menemani Sudding lembur. Terlebih di musim Covid, hampir saja Sudding jarang tidur malam di rumahnya. Sumilalah yang kerap mengantarkan makanan dan pakaian ganti. Ia setia pada suaminya.

Sepertinya mereka sudah nikah batin seakan tidak bisa berpisah. Demikian budaya di kalangan Bugis bahwa hanyalah sekali kita menikah. Tak ada perempuan yang akan dimadu. Poligami bukan budaya kita, itu budaya bangsa lain. “Menikahlah dengan kekasihmu, atau perempuan pilihan keluargamu. Sebab kita hanya sekali menikah seumur hidup. Lihatlah pisang itu, hanya sekali berbuah! Lihatlah pohon kelapa itu hanya sekali tumbuh tanpa bertangkai tanpa bercabang. Demikian prinsip di Bugis. Itulah ketika malam pacar tiba, selalu ada nasehat. Di hari pernikahan selalu ada erang-erang, bawaan termasuk pisang, bunga kelapa, sebagai simbol cintah kasih”.

Tiga tahun lalu termasuk banyak penghasilan. Banyak rumah impian bagi jenasah yang ia gali dengan baik. Memang Sudding sangat ahli membuat lubang, cekukan, sehingga setiap lubang yang ia gali jarang sekali tertimpa dengan jenasah lainnya di dalam kuburan. Ia gali ke bawah dulu, lalu membuat cekukan, dan nantinya ditutupi papan sehingga mayat di dalam tanah begitu rapi tidak gampang terbongkar.

Dari hasil menggali kuburan itu ia dapat bonus sehingga berhasil membayar uang muka rumah subsidi. Per bulannya pun hingga di tahun ketiga ini cukup lancar sebab akhir-akhir ini banyak orang mati. Terkecuali lubang terakhir yang ia gali. Tak disangkanya ternyata ia juga akhirnya terkubur di galian sendiri.

“Pesan satu lubang pagi ini, Sudding! Buat serapi mungkin di Blok FF 009 tepat di bawah pohon bambu. Pihak pemesan butuh tempat yang adem” Pinta pak RT Sudiang pagi itu.

Sepulang dari pemakaman, Sudding selalu terpikir atas perseteruannya dengan rombongan pembawa jenasah bos besar itu. Ia bahkan diancam, diteror, dan dianiaya lantaran pengantar jenasah tidak rela jika bos besarnya dikebumikan berdekatan dengan almarhum musuh bebuyutannya itu.

Tepat adukan ketigabelas, tak sengaja Sudding melihat pantulan mukanya yang berkumis patah itu. Kopi hitam tanpa gula itu tampak berwarna cokelat hingga abu-abu. Orang-orang tiba-tiba berdatangan. Sumila datang belakangan. Ia langsung pingsan. Anak di janinnya pun keluar. Sore harinya almarhum suaminya dikebumikan di bekas galian bos besar itu. Sebab, jenasah sebelumnya telah dipindahkan ke luar Kota Sudiang.

Hujan dan terik matahari bukanlah jadi penghalang bagi Sumila. Setiap pagi ia berdandan rapi lalu bergegas menuju ke kuburan Sudiang, di mana si Sudding dimakamkan. Sejak suaminya meninggal, ritual potong rambut terus ia lakukan. Ia berharap potongan rambutnya itu akan hanyut bersama. Ia perkirakan jasad suaminya belum hancur pasti masih ada yang belum terurai dengan tanah.

Hujan deras kali ini begitu lebat. Petir di mana-mana dan angin begitu kencang. Anak bungsunya ia simpan di rumah saja bersama kedua saudaranya yang masih berumur 12 tahun dan 9 tahun. Demikian rutinitasnya setiap hari. Ia berangkat ke kuburan dari pagi hingga siang hari atau dari siang hingga malam hari. Ia menggelar tikar lalu mengikatkan payung di nisan suaminya. 

Terkadang orang-orang yang melihatnya dikiranya orang gila atau seperti peminta-minta. Bahkan sesekali orang menyimpan koin atau uang kertas dikiranya pula bunga dan air di teko depannya adalah jualan untuk para peziarah kubur yang datang. Sumila tak pedulikan dengan bunga, air dan koin di depannya atau atas apa pun tanggapan orang-orang. Ia tak pernah mau usil kepada siapa pun kepada orang yang nampak atau yang tak nampak di kuburan itu. 

Dengan kepala botaknya di sore itu di bawah derasnya hujan, Sumila membiarkan dirinya basah kuyup. Air matanya tak nampak lantaran hujan membasuhnya. Namun hujan tak membasuh ingatan dan deritanya. Ia hanya berharap tubuh suaminya kembali jadi tanah yang baik atau jadi air yang hanyut kelautan luas. Itulah dia mengajari anaknya menghargai tanaman, tumbuhan atau hewan, kali saja di tiga bulan berlalu ini sudah menyatu dengan tanah hingga sudah terserap atau terhisap.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun