Dari hasil menggali kuburan itu ia dapat bonus sehingga berhasil membayar uang muka rumah subsidi. Per bulannya pun hingga di tahun ketiga ini cukup lancar sebab akhir-akhir ini banyak orang mati. Terkecuali lubang terakhir yang ia gali. Tak disangkanya ternyata ia juga akhirnya terkubur di galian sendiri.
“Pesan satu lubang pagi ini, Sudding! Buat serapi mungkin di Blok FF 009 tepat di bawah pohon bambu. Pihak pemesan butuh tempat yang adem” Pinta pak RT Sudiang pagi itu.
Sepulang dari pemakaman, Sudding selalu terpikir atas perseteruannya dengan rombongan pembawa jenasah bos besar itu. Ia bahkan diancam, diteror, dan dianiaya lantaran pengantar jenasah tidak rela jika bos besarnya dikebumikan berdekatan dengan almarhum musuh bebuyutannya itu.
Tepat adukan ketigabelas, tak sengaja Sudding melihat pantulan mukanya yang berkumis patah itu. Kopi hitam tanpa gula itu tampak berwarna cokelat hingga abu-abu. Orang-orang tiba-tiba berdatangan. Sumila datang belakangan. Ia langsung pingsan. Anak di janinnya pun keluar. Sore harinya almarhum suaminya dikebumikan di bekas galian bos besar itu. Sebab, jenasah sebelumnya telah dipindahkan ke luar Kota Sudiang.
Hujan dan terik matahari bukanlah jadi penghalang bagi Sumila. Setiap pagi ia berdandan rapi lalu bergegas menuju ke kuburan Sudiang, di mana si Sudding dimakamkan. Sejak suaminya meninggal, ritual potong rambut terus ia lakukan. Ia berharap potongan rambutnya itu akan hanyut bersama. Ia perkirakan jasad suaminya belum hancur pasti masih ada yang belum terurai dengan tanah.
Hujan deras kali ini begitu lebat. Petir di mana-mana dan angin begitu kencang. Anak bungsunya ia simpan di rumah saja bersama kedua saudaranya yang masih berumur 12 tahun dan 9 tahun. Demikian rutinitasnya setiap hari. Ia berangkat ke kuburan dari pagi hingga siang hari atau dari siang hingga malam hari. Ia menggelar tikar lalu mengikatkan payung di nisan suaminya.
Terkadang orang-orang yang melihatnya dikiranya orang gila atau seperti peminta-minta. Bahkan sesekali orang menyimpan koin atau uang kertas dikiranya pula bunga dan air di teko depannya adalah jualan untuk para peziarah kubur yang datang. Sumila tak pedulikan dengan bunga, air dan koin di depannya atau atas apa pun tanggapan orang-orang. Ia tak pernah mau usil kepada siapa pun kepada orang yang nampak atau yang tak nampak di kuburan itu.
Dengan kepala botaknya di sore itu di bawah derasnya hujan, Sumila membiarkan dirinya basah kuyup. Air matanya tak nampak lantaran hujan membasuhnya. Namun hujan tak membasuh ingatan dan deritanya. Ia hanya berharap tubuh suaminya kembali jadi tanah yang baik atau jadi air yang hanyut kelautan luas. Itulah dia mengajari anaknya menghargai tanaman, tumbuhan atau hewan, kali saja di tiga bulan berlalu ini sudah menyatu dengan tanah hingga sudah terserap atau terhisap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H