Tante Lisa terus meludah. Ia sudah puluhan kali meludah hari ini. Bahkan setiap harinya Ia selalu meludah-ludah. Sikap tersebut dialamatakannya kepada orang-orang yang ia benci. Hampir semua tetangganya ia benci, tak sedikit diantaranya sudah ditemani berantem hebat. Untung saja orang-orang yang ia temani berantem tersebut terkadang mengalah. Ia sangat membenci semua orang di sekitarnya. Setiap kali tetangganya lewat, ia terus berulah dengan cara meludah di hadapan orang tersebut baik sengaja untuk dikenai yang bersangkutan maupun hanya meludah di tempat.
Air ludahnya kali ini sedikit berbusah dan menggumpal. Mungkin saja sedang flu-batuk, karena memang cuaca sedikit ekstrem. Di kompleks tersebut begitu terik dan mengering. Selain karena gersang, juga karean tempat perumahan tersebut merupakan lokasi persawahan sehingga kurang pepohonan yang hidup bahkan pihak pengembang belum menanam pohon untuk penghijauan perumahan. Tak sepadan dengan nama perumahan dengan tema hunian asri terlebih orang-orang di dalamnya kurang mengasyikkan. Tak terkecuali dengan kehadiran tante Lisa dan anak-anaknya yang selalu saja meresahkan tetangga-tetangganya.
Sesekali air ludahnya menghinggapi bebatuan, tembok, atau terparkir di selokan. Ludah-ludah itu menunggu air hujan membasuhnya. Sebab tidak mungkin tante Lisa sendiri yang membersihkannya. Atau menjilat ludah sendiri. Memang ludahnya tidak mengenai kepada orang yang diludahinya karena jarak antara dia dengan orang tersebut terbilang hitungan meter. Orang-orang pun sedang berjalan di hadapannya saat tante Lisa meludah-ludahinya. Bekas ludahnya bisa terlihat di sekitar rumahnya, khususnya tepat di depan pagarnya itu yang berdiri sepasang batu gunung di atas selokan tempat ia duduk atau berdiri untuk sekedar mengolok-olok bagi siapa saja yang dilihatnya.
Tindakannya sudah bertahun-tahun lamanya. Sejak suaminya diangakt sebagai ASN dan ditugaskan sebagai sopir. Sehingga suaminya jarang di rumah. Ia hanya numpang tidur di malam hari lalu pergi dini hari untuk antar jemput anak sekolah di kota tempat ia bekerja. Orang-orang pun tak ada yang berani menegurnya, menyindirnya atau melaporkan tindakannya itu. Pernah sekali Sumanga melaporkan tindakan istrinya itu lantaran, tidak tahan anak istrinya diolok-olok layaknya binatang. Hingga terjadi pertikaian sengit. Sumanga pun tidak berhasil memarangi tante Lisa, biar bagaimana Sumanga sangat respek pada perempuan sebab perempuanlah yang melahirkannya dan perempuanlah yang melahirkan anak-anaknya. Untung saja seorang nenek tua tak sengaja melintas dan memegang pundak Sumanga. Seketika itu pula emosinya surut. Demikian jika perempuan memegang emosi laki-laki, cepat atau lambat ia melunak, bahkan tersembunyi dalam-dalam, alias malu muncul di permukaan.
Sebab siapa saja yang ketahuan melaporkan dia ke pihak RT atau ke suaminya maka ia akan dicarikan masalah. Demikian Sumanga kala itu, pada dasarnya tante Lisa pernah menjadi tetangga Sumanga yang baik hati. Namun ada keinginan yang tidak terpenuhi. Ia pula merasa kecewa lantaran Sumanga tidak peka jika maksud kedekatan tante Lisa adalah untuk saling berbagi. Apa yang dimakan Sumanga harus pula dinikmati tante Lisa, sebaliknya demikian. Saat itu pula amarah tante Lisa memuncak saat Sumanga datang berbelanja di tempat musuh bebututannya, sebut ia bapak Fajar. Seorang anak driver kanvas rokok.
Masalah yang dibuat tante Lisa kepada orang-orang bermacam-macam. Mereka diganggu dengan cara yang aneh, anaknya tante Lisa akan membuat keributan. Ia seakan penguasa di kompleks itu. Suaminya pun tak berani menegurnya, terlebih anak-anaknya. Justru anak-anaknyalah yang jadi tim dalam setiap aksi kejahatannya. Misalnya anaknya melempari rumah orang yang dianggap melawan ibunya. Sementara suaminya hanya datang saat tengah malam dan pergi dini hari. Pak RT setempat pun seakan menutup mata dan telinga jika ada warga yang mencoba mencibir tante Lisa. Entah seperti apa relasi antara pak RT dan tante Lisa sehingga ia tidak pernah mendapat teguran.
Saat Suaminya mendengar laporan Sumanga. Ia pun dipertemuka dengan pak RT. Sumanga menantangnya secara laki-laki. Badik pun disiapkan dua buah untuk bertarung dalam sarung. Hanya saja suami tate Lisa tidak terima tantangan itu, ia anggap permaslahan tersebut hanya permasalahan perempuan yang tak perlu laki-laki terlibat. Ia bahkan mengatakan bahwa istrinya tidak mungkin berulah jika tak ada yang memancingnya. Ia juga mengatakan bahwa sangat mencintai anak-istrinya. Jika tarung dalam sarung yang kalah pasti sengasara atas luka-luka benda tajam dan yang menang pasti terpenjara karena sajam.
Sudah setahun terakhir tingkah tante Lisa semakin menjadi-jadi. Dulunya hanya teriak-teriak jika ada orang yang dianggap musuhnya lewat di depan rumahnya. Tetapi sekarang sudah bertambah ulahnya. Tetangganya silih berganti ngontrak, tak terkecuali Sumanga sangat menderita atas ulahnya. Setiap kali ia merasa terganggu atau habis berantem dengan nenek-nenek itu, ia langsung pergi meninggalkan rumah cicilan itu. Ia ke kota atau ke luar pulau demi menenangkan dirinya. Terkadang ia pasrah hanya saja kata Sumanga suatu waktu bahwa emosi juga adalah ciptaan tuhan, pasti ada fungsinya termasuk emosik saat terusik.
Di usianya yang terbilang tua itu bahkan sudah bercucu, sedianya tidak bersifat kekakank-kanakan. Ia terus mengolok-olok orang. Di hadapan anak-anaknya pun ia terus bertingkah demikian. Ke tujuh anaknya itu sudah didoktrinnya agar membenci semua orang yang dibenci oleh ibunya. Entah kenapa?
"Kenapa tenggorokannya tante?" Tanya seorang tetangga baru di depan rumahnya.
"Tidak apa-apa, biasa, tadi ada orang busuk yang lewat. Tante tidak bisa tahan". Â Demikian jawaban tante Lisa seketika ditanya oleh orang yang baru saja melihatnya. Ada-ada saja caranya menyembunyikan ulahnya. Â Tapi ludah-ludahnya tak bisa sembunyi dari kemarau yang panjang. Hujan belum membasuhnya.
"Apakah tante sakit? Kenapa dari tadi meludah tante? Tetangga baru itu terus mencari tahu. Pasti lama-lama ia akan jadi musuh tante Lisa juga jika terus bertanya dan jika ia tidak ingin berteman dengannya. Memang kerjanya tante Lisa terus menghasut orang yang satu untuk membenci yang lainnya. Seakan-akan ia adalah salah satu orang yang harus digengar, disegani dan juga tempat orang mengaduh. Memang ia gemar membantu, tetapi bukan uang atau materi melainkan membantu secara tenaga. Sebab permasalahannya tante Lisa adalah juga terkait finansial. Hanya suaminya yang cari uang sementara ia tinggal dengan delapan orang. Bahkan baru satu anaknya yang pisah rumah dengannya lantaran ia kawin muda dengan kakek dari seberang pulau lantaran ia tergiur dengan uang si duda itu.
Setiap hari tante Lisa selalu saja meludah-ludah di depan Sumanga dan istrinya. Tak hanya di hadapan dua tetangganya itu, bahkan setiap orang yang dianggap tidak sejalan dengan pikirannya maka orang tersebut akan menjadi obyek bulian dari tante Lisa. Ia pun selalu meludah di depan orang-orang yang memihak kepada Sumanga dan tetangga lainnya yang sedari dulu jadi korban atas ulahnya itu.
Ia selalu merasa bahwa dirinyalah yang hebat, terkenal glamour dan merasa bahwa dirinya adalah orang terhormat. Ia pula merasa orang lama di kompleks itu sehingga setiap orang baru sedianya respek kepadanya. Sementara kompleks tempat ia tinggal sedikit peralihan antara budaya kampung dan perkotaan. Namanya juga kompleks perumahan tentu banyak suku di dalamnya dan banyak orang dari latar belakang profesi yang berbeda.
Orang-orang yang dibencinya tentu tidak nyaman dan merasa tersiksa. Terlebih Sumanga dan istrinya sebab hanya di depan rumah tante Lisa itu jalan satu-satunya ke luar kompleks perumahan Belanga Asri. Bahkan ketika ke warung, ke tempat kerja, ke mesjid atau hanya sekedar jalan-jalan pagi dan sore, mereka harus lewat di depan ruamh tante Lisa. Tentunya setiap ia kedapatan oleh si nenek itu, maka mereka harus menerima ludahan atau teriakan yang kurang mengenakkan di telinga.
Entah berapa kali tante Lisa meludah-ludah setiap harinya. Hanyalah Sumanga beserta istrinya yang tahu persis sebab hanya merekalah yang bersebelahan rumah dengannya. Bahkan rumah tante Lisa dan rumah Sumanga hanya satu couple di perumahan subsidi itu. Entah apa pula yang dibanggakan darinya sehingga ia merasa sombong. Ia menganggap semua orang seperti sampah, seperti bangkai, semua orang dianggapnya busuk di penciuman dan di hatinya. Dari caranya meludah-ludah bahwa seakan-akan orang lain sangat menjijikkan.
Hari ini suaminya tidak ke kantor. Ia izin habis lembur mengantar rombongan tim Porda kabupaten. Memang ia adalah sopir bus di kantor kabupaten. Ia sudah lama terangkat sebagai ASN. Hari ini suaminya sengaja beristirahat lantaran esok harinya ia harus menjemput lagi tim Porda dengan kendaraan bus perhubungan yang ia bawa. Nampak ia bersihkan bus tersebut di depan rumahnya, tempat istrinya biasa meludah. Tiba-tiba datang petugas laundry AN. AN adalah singakatan dari anti noda. Daeng laundry AN datang pagi-pagi mengantar pakaian laundry. Ia sebenarnya ingin menjelaskan kenapa ada noda yang tidak bisa ia bersihkan.
Tiba-tiba si Daeng itu membuka baju tante Lisa secara terpaksa di depan pintu lantaran ia berniat membuktikan bahwa laundry Anti Noda miliknya tak mampu membasmi noda ludah di baju pelanggannya. Mungkin saja noda ludah itu tak ingin pisah dari baju hitam yang kini sudah berbintik putih atas noda ludah. Ludah itu bukan ludah biasa, bukan pula ludah luar biasa yang disertai dengan darah segar seperti orang penyakitan. Hanya ludah berbusa. Tante Lisa pun merasa ditelanjangi saat Daeng laundry AN membuka bajunya di hadapan suaminya. Suaminya pun merasa ditelanjangi atas rasa malu yang tiada tara bagi seorang lelaki. Kini mukanya memerah. Tambah memerah ketika tante Lisa mengelak padahal bukti ludah kiri-kanan bisa jadi penanda bahwa ia seorang yang senang meludah. Bukan hobi tetapi karena keseringan menghina orang dengan ludah. Di pintu depan, di pagar depan dan pagar tetangga semua sama, suaminya telah mencocokkan model mulut istrinya dengan bundar lebar ketika meludah di mana-mana. Ludah berbusa itu sama persis dengan bekas ludah yang ia temukan di depan rumahnya.
"Ini benar!. Ini ludah kamu kan?". Si sopir itu mencoba sedikit marah kepada istrinya di hadapan petugas laundry.
"Bukan!Bukan! Ludah Apa?". Ia lalu salah tingkah saat ditanya oleh suaminya.
Petugas laundry itu pergi tanpa mendapat balasan sepata kata pun dari tante Lisa. Tetapi selalu saja ada pembenaran darinya.
"Tunggu balasanku". Tante Lisa membatin dengan nada emosi yang ditahan.
"Aku sakit sayang. Masa kamu tidak tahu? Kamu terlalu lama baru pulang ke rumah". Ia bilang aku sakit paru-paru. Beri aku duit, jika ingin melihat istri kamu ini sembuh. Pada dasarnya ia selalu bertingkah aneh jika tidak diberi duit. Padahal ATM gaji suaminya sudah di tangannya sedari dulu. Ia tahu kali ini, kalau suaminya dapat tambahan lantaran usai mengantar rombongan tim Porda kabupaten untuk bertanding.
Suara adzan duhur berkumandang. Sumanga lekas ke mesjid. Sumanga juga tidak ke tempat kerja. Ia sudah lama WFH sejak awal covid 19 hingga tahun ini. Namun saat ia berjalan ke mesjid, tiba-tiba saja tante Lisa meludah lagi. Ia tidak sadar jika suaminya ada di dekatnya. Suaminya pun semakin marah. Ia tak bisa mengelak lagi. Suaminya pun sedikit acuh, ia tidak memperdulikan Sumanga yang jadi korban bulian itu. Saat Sumanga sedikit menjauh, sang suami tiba-tiba menoleh ke arah istrinya.
"Tenggorakannku gatal, betul, tidak bohong". Ia berupaya membenarkan kebohongannya. Sedari tadi sudah berkali-kali memang meludah sebab dari subuh hari kedua pasangan lalu lalang entah sedang mengurus apa.
Selepas memberi duit kepada istrinya, pak sopir itu langsung menancap gas. Ia tiba-tiba urungkan niat untuk beristirahat di rumah. Ia dengan bus perhubungan itu berangkat dengan hati yang gunda gulana. Lantaran tingkah aneh istrinya. Ia pun tidak bisa membentak atau bersikap keras dan tegas ke istrinya. Entah kenapa? Bahkan mertua tante Lisa pun pernah datang bahwa harapannya bagaimana anaknya bercerai dengan si Lisa itu.
Demikian kedengkian yang mendorongnya dari dalam. Bisa saja ludah di lidah tante Lisa itu adalah ludah terakhir. Seakan membatu menempel di pangkal hingga di ujung lidah. Ludahnya yang membusa itu sulit terpisah dengan mulut. Ia meleleh tapi tak lepas dari pangkalnya. Ludah tante Lisa yang dipegang oleh daeng Laundry itu seakan pula membantah mitos atas deterjen anti noda yang kini tak memiliki kemampuan menghantam noda ludah di baju.
Rumor itu pun tersebar seantero Belanga. Para tetangga sekompleks pun begitu kepo atas isu itu. Banyak yang pura-pura lewat ingin menyaksikan ludah tante Lisa, sembari memegang handphone untuk merekam lalu memviralkan di media sosial Instagram, TikTok dan Facebook. Bahkan pernah sekali selebgram dan artis TikTok teman pak Sumanga memang sengaja ingin merekam aksi tante Lisa yang selalu meludah jika ada orang yang tidak disenangi lewat depan rumahnya. Bahkan semua tetamu pak Sumanga yang pernah berkunjung ke sana sudah mengetahui kelakuan tante Lisa. Pak Sumanga pun sengaja menyampaikan kondisi tetangganya agar mereka tidak mudah tersinggung ketika lewat dan mendapatkan perlakuan yang sama.
Konon kabar dari mertua tante Lisa bahwa memang orangnya sudah seperti itu sejak lahiran anak pertamanya. Mertuanya pun sudah berkali-kali meminta anaknya menceraikan menantunya itu yang bernama Lisa. Namun setiap suaminya berniat ke pengadilan agama atau tercium niat itu olehnya ada-ada saja yang terjadi. Bahkan setiap ingin berangkat pagi-pagi ke pengadilan selalu saja tante Lisa menunjukkan alat tes kehamilan dan ia hamil lagi. Sehingga dari delapan anaknya saat ini menandakan sudah delapan kali pula ia suaminya menceraikannya. Sejak pernikahan anaknya dengan menantunya Lisa itu, ia tak sekalipun mengunjungi rumah menantunya itu. Padahal bisa dikata ia hanya satu kecamatan dengan menantunya itu. Bahkan rumahnya hanya di antarai dengan satu perumahan subsidi, satu lahan persawahan ke timur, kantor Desa Belanga dan TPA kabupaten atau sekitar 15 menit jarak tempuh dengan roda dua.
Ia iri melihat istri orang yang sedang bermesraan dengan suaminya. Sebab suaminya hanya numpang tidur dengannya. Ia seakan-akan sibuk dengan pekerjaan sopirnya atau memang sibuk, terlebih di musim tertentu seperti musim Porda, musim jemaah haji dan kampanye tentu selalu kemana-mana mengantar rombongan, baik tim olahraga, jamaah haji maupun tim kampanye. Olehnya itu ia iri dengan para tetangganya yang di mata tante Lisa bahwa mereka bahagia. Demikian jika ada pencapaian tetangganya, misalnya anak tetangga peringkat pertama di kelas, juara lomba adzan saat ramadan, atau sekedar juara lomba joget balon tingkat RT saat peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia.
Jika dilihat dari kasat mata bahwa ia merupakan istri seorang ASN di kabupaten. Ia sudah tinggal di rumah sendiri dengan delapan anak, dua perempuan dan dua laki-laki. Padahal 65 % tetangganya bukan merupakan penghuni tetap alias tinggal ngontrak. Sebab perumahan Belanga Asri adalah kompleks perumahan ASN namun banyak ASN yang pemilik asli rumah tersebut sedang tinggal di asrama. Termasuk sebenarnya suami tante Lisa yang sedang memanfaatkan fasilitas negara itu dengan tinggal di asrama tanpa membawa anak istri mereka karena hanya satu kamar. Meski demikian ia sering pula ke rumah di waktu tertentu.
Tak hanya tante Lisa yang berperilaku aneh dan mengganggu namun anak-anak mereka juga tentu meresahkan. Tapi bagi Sumanga dan tetangga lainnya bisa mengatasi hal tersebut kecuali kelakuan tante Lisa yang sulit dibuktikan. Bahkan sudah tujuh kali Sumanga melaporkan kejadian ini ke RT, empat kali memasukkan surat laporan kriminal ke Polsek Setempat, sudah 3 kali memviralkan aksi tante Lisa. Hanya saja suaminya terus saja melindungi dan menganggap orang lainlah yang suka mengganggu istrinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H