Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen/ Writer

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buka Puasa

28 Maret 2024   23:28 Diperbarui: 30 Maret 2024   07:49 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buka Puasa, sumber Radar Bonang

"Aku tak pernah meninggalkan istri dan anakku selama Ramadhan ini. Cukuplah Ramadhan yang lalu-lalu bermasalah. Aku di Jogja, anakku di Sulawesi. Tahun sebelumnya aku terbaring sakit. Tahun sebelumnya lagi sedang mengalami trouble. Ah sudahlah!" Batinku menyela.

Waktu menunjukkan pukul 3.55 WITA, kampus mulai sepi. Kerjaan belum beres. Meja kerja berantakan penuh tumpahan tinta. Paper belum kelar. Terdengar suara ambulans begitu lama berdering. Padahal bunyi ambulans sekali saja dalam tiga jam. Atau bahkan sekali sehari. Kadang pula tak pernah terdengar. Tapi kali ini bunyinya cukup lama. Itu pertanda sedang macet parah di jalan protokol dari arah Kota Makassar ke Maros. 

Diriku semakin gelisah. Pikiran tak karuan. Belum lagi gerimis sedari tadi mewarnai cuaca di pertengahan Ramadhan ini. Teleponku terus memberikan notifikasi bahwa waktunya pulang. Ingat anak istri di rumah. Aku belum sempat izin sama anak-anak apalagi sama istri, jikalau sebentar adalah acara buka puasa bersama dengan dosen-dosen di unit kerja alias di fakultas. 

Pelangi kali ini muncul, warna-warninya memantul ke bilik jendela ruangan kerjaku. Pikiran aneh-aneh muncul. Jikalau aku balik sekarang pukul 4 35 WITA, maka selepas magrib baru tiba di rumah lantaran gerimis dan macet di jalanan. Entah apa yang membuat macet. Biasanya sedang ada konvoi-konvoi. Tapi PSM sedang tidak bertanding. Kampus-kampus sepanjang jalan perintis pun separuh kuliah online dan separuh kuliah luring. 

"Ayah! Cepat pulang" teriak si bungsu dari layar panggilan video.

"Ayah! Aku sakit, puasaku batal. Perutku sakit. Aku muntah tiga kali hari ini, Ayah" si sulung merayu sembari menangis.

"Ayah! kakak sakit perut, aku belum sempat keluar beli takjil. Takut tinggalkan anak-anak di rumah dalam keadaan seperti ini. Di jalan raya pun macet, sulit dapat takjil. Aku tunggu saja ayah yang belanja yah. Tidak usah terburu-buru, kami baik-baik saja kok. Tidak apa-apa telat makan malam. Di sini banyak minuman dan cemilan sisa kemarin" suara perempuan ini begitu pasrah, terdengar dari nadanya pelan tetapi begitu tegas dan membujuk agar aku segera pulang 

"Sudah dulu yah, Ayah izin dulu di pimpinan" balasku pelan.

Kampus kembali ramai. Orang-orang berdatangan dari kelas selepas Kuliah. Pihak catering sedari tadi merapikan meja makan, piring-piring, lauk-pauk, kue-kue, tak ketinggalan menu andalan warga Kota Makassar saat berbuka yakni jalangkote, semacam kue pastel.

Aku sendiri mencari celah, bagaimana bisa pamitan. Dengan alasan yang logis agar diizinkan. Bohong pun tentunya tidak baik. Apalagi di bulan puasa. Aku beranikan diri menelepon pimpinan saat mereka sedang transaksi dan yang lainnya sedang menjemput tamu undangan yang datang. 

Motorku cukup melaju ke luar gerbang kampus. Yah hanya sampai di gerbang saja. Sama halnya UUD mengantarkan ke gerbang saja, selanjutnya pemangku jabatan atau rakyat yang sadar. Sementara di jalanan tentu larinya merapat mengikuti irama kendaraan yang padat. Jika ditelusuri hingga di akhir macet, pada dasarnya ini bukan macet, hanya saja kendaraan yang tumpah ruah dan ramai tidak lancar. 

Para mahasiswa di kampus sebelah jua demikian bergantian mengambil posisi di kiri kanan ke arah timur. Jalanan tambah padat. Pekerja KIMA yang jumlahnya ribuan juga sedang antri di arah kiri kanan. Mereka terus mencari celah untuk nyalip, mencuri tituk start. Belum lagi pekerja kantoran yang sedang balik ke arah Sudiang. Di sana adalah pusat pemukiman terbesar warga kota Makassar. 

Beberapa ruas jalan dipenuhi genangan air. Dari arah belakang dan berlawanan, kendaraan besar sedang peran klakson telolet om, telolet om. Warna-warni kendaraan semakin ramai. Arakan pengantar jenasah bergantian dari arah belakang memaksa meminta jalan. Beberapa diantaranya telah bersitegang dengan pengendara lainnya. Bahkan dengan pihak aparat keamanan pun mereka bersitegang. Pengendara di depan tak ada yang rela minggir ke kiri.

Suara mengaji, suara doa -doa dari arah tia mesjid silih berganti berbunyi. Suara klakson kendaraan tak jua mau mengalah. Entah siapa yang salah dengan macet yang parah. Sebuah pengendara telah mengutuk rombongan pengantar jenazah yang begitu brutal meminta pengendara menepi di arah kiri kanan jalan. 

Tulisan warung Coto sisi kanan jalan seakan memancing para pengendara untuk menepi sembari menunggu saat berbuka puasa. 

"Ah sangat jarang warga kota Makassar yang mampir makan Coto saat berbuka. Tidak sama di luar bulan Ramadhan, bahwasanya Coto Makassar hanyalah kudapan di jam tertentu seperti jam sepuluh pagi, sore hari atau di tengah malam. Sementara di pagi hari tentu diwarnai dengan warmob alias warung mobil nasi kuning Makassar yang hampir mengalahkan jumlah outlet indomart dua kali lipat. Memang basi kuning dan coro Makassar seakan menjadi etalase jalan di kota Makassar. 

Maros masih terlihat jauh dari jarakku menuju. Handphone sedari tadi aku ubah mode pesawat. Mesjid-mesjid di pinggir jalan sudah mulai ramai. Para polisi lalulintas pun sedang sibuk mengatur arus lalu lintas. Tak sedikit dari kawanan polisi sedang berbagi takjil.

Parcel di depanku tak berhenti dari pandangan. Entah susu kental manis yang aku cicipi dahulu atau syrop marjan duluan. Parcel yang aku bawa ini adalah pembagian dari kampus. 

"Anak-anakku tentu senang jika mereka yang unboxing paket ini. Apakah aku buka saja, atau mampir buka puasa di mesjid-mesjid. Minum air gelas, makan sebiji kurma, ditambah es cendol, lalu shalat magrib, dapat jatah nasi kotak. Ataukah aku melaju saja, di rumah nanti baru berbuka puasa. Keluarga tentunya menunggu di rumah dengan antusias, baru kali ini aku telat pulang" batinku terus berdebat, sembari merapat ke arah kendaraan yang lebih padat. Sebab di situ pasti akan ada celah yang kudapat.

Pelangi perlahan menghilang dari arah timur berlawanan. Seakan diajak tenggelam oleh mentari sore itu yang sedikit buram lantaran ia tetap mencintai hujan sore, pelangi, dan pejalan.

Entah sampai di mana jalan raya ini macet. "Andai ada kereta di kota Makassar tentu orang-orang pilih ini. Ataukah memberlakukan antar jemput bus" pikirku berimajinasi sembari mengendarai ramai. Entah jam berapa aku akan tiba di rumah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun