Motorku cukup melaju ke luar gerbang kampus. Yah hanya sampai di gerbang saja. Sama halnya UUD mengantarkan ke gerbang saja, selanjutnya pemangku jabatan atau rakyat yang sadar. Sementara di jalanan tentu larinya merapat mengikuti irama kendaraan yang padat. Jika ditelusuri hingga di akhir macet, pada dasarnya ini bukan macet, hanya saja kendaraan yang tumpah ruah dan ramai tidak lancar.Â
Para mahasiswa di kampus sebelah jua demikian bergantian mengambil posisi di kiri kanan ke arah timur. Jalanan tambah padat. Pekerja KIMA yang jumlahnya ribuan juga sedang antri di arah kiri kanan. Mereka terus mencari celah untuk nyalip, mencuri tituk start. Belum lagi pekerja kantoran yang sedang balik ke arah Sudiang. Di sana adalah pusat pemukiman terbesar warga kota Makassar.Â
Beberapa ruas jalan dipenuhi genangan air. Dari arah belakang dan berlawanan, kendaraan besar sedang peran klakson telolet om, telolet om. Warna-warni kendaraan semakin ramai. Arakan pengantar jenasah bergantian dari arah belakang memaksa meminta jalan. Beberapa diantaranya telah bersitegang dengan pengendara lainnya. Bahkan dengan pihak aparat keamanan pun mereka bersitegang. Pengendara di depan tak ada yang rela minggir ke kiri.
Suara mengaji, suara doa -doa dari arah tia mesjid silih berganti berbunyi. Suara klakson kendaraan tak jua mau mengalah. Entah siapa yang salah dengan macet yang parah. Sebuah pengendara telah mengutuk rombongan pengantar jenazah yang begitu brutal meminta pengendara menepi di arah kiri kanan jalan.Â
Tulisan warung Coto sisi kanan jalan seakan memancing para pengendara untuk menepi sembari menunggu saat berbuka puasa.Â
"Ah sangat jarang warga kota Makassar yang mampir makan Coto saat berbuka. Tidak sama di luar bulan Ramadhan, bahwasanya Coto Makassar hanyalah kudapan di jam tertentu seperti jam sepuluh pagi, sore hari atau di tengah malam. Sementara di pagi hari tentu diwarnai dengan warmob alias warung mobil nasi kuning Makassar yang hampir mengalahkan jumlah outlet indomart dua kali lipat. Memang basi kuning dan coro Makassar seakan menjadi etalase jalan di kota Makassar.Â
Maros masih terlihat jauh dari jarakku menuju. Handphone sedari tadi aku ubah mode pesawat. Mesjid-mesjid di pinggir jalan sudah mulai ramai. Para polisi lalulintas pun sedang sibuk mengatur arus lalu lintas. Tak sedikit dari kawanan polisi sedang berbagi takjil.
Parcel di depanku tak berhenti dari pandangan. Entah susu kental manis yang aku cicipi dahulu atau syrop marjan duluan. Parcel yang aku bawa ini adalah pembagian dari kampus.Â
"Anak-anakku tentu senang jika mereka yang unboxing paket ini. Apakah aku buka saja, atau mampir buka puasa di mesjid-mesjid. Minum air gelas, makan sebiji kurma, ditambah es cendol, lalu shalat magrib, dapat jatah nasi kotak. Ataukah aku melaju saja, di rumah nanti baru berbuka puasa. Keluarga tentunya menunggu di rumah dengan antusias, baru kali ini aku telat pulang" batinku terus berdebat, sembari merapat ke arah kendaraan yang lebih padat. Sebab di situ pasti akan ada celah yang kudapat.
Pelangi perlahan menghilang dari arah timur berlawanan. Seakan diajak tenggelam oleh mentari sore itu yang sedikit buram lantaran ia tetap mencintai hujan sore, pelangi, dan pejalan.
Entah sampai di mana jalan raya ini macet. "Andai ada kereta di kota Makassar tentu orang-orang pilih ini. Ataukah memberlakukan antar jemput bus" pikirku berimajinasi sembari mengendarai ramai. Entah jam berapa aku akan tiba di rumah.Â