Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Bahasa dan Budaya

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Memanjat Hujan

14 Januari 2024   21:39 Diperbarui: 16 Januari 2024   18:17 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi hujan, sumber ilustrasi; Kompas.com

Kupu-kupu terus menikmati bunga-bunga yang basah, mereka enggan beranjak dari taman. Burung-burung pun saling bersahutan, senang menyambut suasana pagi. Cahaya sesekali membidik bilik kamar. Mentari pagi terus mencoba menembus puncak gunung di ufuk timur lalu mencari sela-sela dedaunan. Hujan pagi semalam sepertinya tidak terlalu deras, mungkin hanya ingin menyapa kemarau. Orang-orang di Belanga mengatakan kalau hujan demikian hanya sebagai penggugur bunga mangga. Bunga-bunga mangga tampak lebat, cantik sekali. Warnanya putih kekunging-kuningan.

La Baco nampak duduk di beranda rumah sembari memandangi apa saja yang terlintas. Ia enggan beranjak dari beranda rumah, entah karena hari pertama hujan. Memang dulu hujan pertama dianggap famali jika ia mengenai tubuh dan kepala kita, sebab selama kemarau hujan tersebut tertampung di atas sana bersama debu-debu.

Ia menelan perlahan kopi dinginnya. Lidahnya terus memilah rasa kopi dan gula. Layaknya kupu-kupu yang sedari tadi mencumbu saripati bunga-bunga. Aroma musim ini bisa saja melepas kemarau dan menyambut musim penghujan. La Baco pun enggan membangunkan anaknya dari mimpi pagi. Terlebih Muliati, ia hanya menjalani peran paginya. Menyiapkan kopi untuk suaminya dan teh hangat beserta bubur buat anak kesayangannya. Baginya anak laki-laki adalah pendulang rupiah. Bahkan mitos yang berkembang di Belanga bahwa semakin banyak anak laki-laki maka semakin banyak rezeki. Laki-laki dianggap pencari nafkah dan pewaris atas profesi ayahnya. Sementara anak perempuan akan dilepas kelak setelah menikah. Mereka akan dibawa pergi oleh suami dengan rumah tangga baru atau tinggal bersama mertuanya.

Muliati terus sibuk di dapur membereskan masakan. Sesekali ia turun tangga memberi makan ayam-ayam peliharaannya. Baginya bahwa makanan darinya yang harus dicicipi ayam-ayam itu sebelum mereka mengais cacing tanah di halaman atau di tanah lapang yang sedari semalam kegirangan ingin melihat hujan. Tepat di depan rumah panggung itu ada sedikit halaman, hanya sekedar tumbuhnya bunga-bunga dan dua tiga pohon mangga serta satu nangka. Lalu di depan lagi ada tanah lapang ke arah timur laut bersebelahan dengan Sekolah Dasar Ibu Kandung Belanga. Di belakang rumah mereka ada kuburan yang bersebelahan kebun kelapa dan hamparan persawahan Belanga. Nampak di kejauhan sana ada jejeran bukit, dan dia atasnya bukit itu sering disebut sebagai atap Sulawesi.

Andai saja tak ada bidadari bersama pelangi yang turun mandi di sungai Belanga, mungkin matahari pagi sudah menyisir penuh bilik itu lewat celah-celah tripleks dari penjuru timur. Atau bahkan atap Sulawesi dari arah timur seakan terbelah oleh mentari pagi. Sungguh indah dipandang mata dan membuat hati orang-orang Belanga begitu tenang lantaran susana alam itu.

Kedua orang tua mereka memang tidak pernah marah sedikit pun. Terlebih berkata kasar kepada anaknya dan kepada orang lain. Di sana tuturan orang-orang mencerminkan kelas sosial, sehingga lisan mereka selalu terjaga. Sesama tetangga jarang terdengar pertikaian, sebab hal tersebut dianggap aib. Di Belanga masih hal tabu jika mengatakan hal kasar, marah atau perkelahian. Warga Belanga hidup penuh dengan cinta, ketentraman, dan nyaris tak ada perselisihan. Kalau pun ada yang salah segera meminta maaf dan dimaafkan. Orang tua sering memberi nasehat baik lisan maupun tulisan. Apalagi jika hanya anak laki-laki yang telat bangun, tak ada yang tahu jika ia masih di kamar, dikiranya sedang membaca buku atau mengaji usai shalat.

Bahkan pemuda seusia Sumanga di jam segini sudah tidak di kamar mengurung diri. Mereka sudah di sawah, di ladang dan di sungai bagi gembala sapi, di laut bagi nelayan. Bahkan banyak pula pemuda seusianya di rantauan baik di Kalimantan, di Riau, hingga di Malaysia. Mereka di perantauan terkadang pulang sekali setahun atau nanti sekali lima tahun dengan membawa pasangan. Sebab menikah di Belanga terbilang sulit, laki-laki sedianya punya ber petak-petak sawah dan dua tiga ekor ternak sapi. Jika diuangkan berkisar 100 jutaan di luar biaya pesta. Biasanya menghabiskan biaya 200 jutaan bergantung dari besar kecilnya keluarga mempelai atau terkadang pula disesuaikan atas strata sosial mereka.

Warga Belanga selalu patuh pada pappaseng (pesan leluhur). Banyak buku-buku pappaseng di rumah La Baco. Hanya saja ia tak paham membacanya. Ia selalu menasehati diri sendiri bahwa hidup itu tak hanya butuh sabar, tentram tapi tidak sejahtera secara materi. Hidup kita harus berubah. Harus ada dalam keluarga kita yang pandai membaca, ucapnya suatu petang di hadapan Muliati.

Sumanga tak boleh mewarisi profesiku sebagai petani dan pemanjat kelapa! Batinnya menyeru sembari menyeruput kopi hingga tersisa hanya ampas. Ia sesekali usapkan ampas kopi itu ke kertas gulung cerutunya.

“Bagaimana Sumanga, sudah bangun belum? Anak itu tidak boleh jadi anak manja. Anak-anak yang kerjanya hanya makan tidur, baca buku terus-terusan, kira-kira mau jadi apa nantinya! Seru Muliati.”

“Anak kita tidak boleh jadi anak emas, kita harus mulai menasehati anak itu! Balas La Baco”

“Aku ingat pesan ayahku Daeng, dia bilang begini ke kami saat masih kecil; kencingi kuburanku jika engkau bisa kaya raya tanpa bangun pagi secara rutin”.

La Baco terdiam. Ia merasa tersentuh, sebab sudah dua puluh tahun pernikahannya namun keadaan keluarganya begitu-begitu saja.

Memang cahaya mentari tidak boleh masuk di bilik kamar tanpa dipersilahkan. Pintu dan jendela harus terbuka duluan. Semakin banyak cahaya yang masuk dan semakin banyak kupu-kupu yang beterbangan di halaman hingga di beranda rumah maka rezeki akan terus mengalir.

Sumanga tiba-tiba meloncat dari bilik kamar.

“Hore! Aku lulus kuliah!”

“Mimpi apa kamu? Tanya La Baco kepada anaknya”.

“Aku baru saja dapat pesan kalau aku diterima kuliah di Kota”

“Jangan-jangan ini hanya akalan kamu! Ini pasti karangan kamu semata agar tidak ke sawah, tidak memanjat kelapa lagi! Seru La Baco”

“Tidak ayah! Aku dinyatakan lulus bersyarat di jurusan Sastra Daerah”

“Kamu mau jadi apa setelah lulus? Kamu tidak bisa jadi Pegawai! Kamu tidak bisa menikah nanti! Kalau begitu cukup kamu nongkrong bersama buku-buku kakekmu di kamar. Lihat tetangga kita! Anak-anak mereka sudah kawin-mawin, uang panaik mereka ratusan juta, masa kamu mau kalah nanti!”

“Kenapa pegawai saja yang dianggap pekerjaan? Sumanga menyela. Ayah! Aku ingin ke luar negeri, aku ingin kerja di Belanda,  Lontaraq kita ada di sana, hanya yang kuasai Bahasa Daerahnya yang diterima kerja di sana”

Aja mu mempe bosi’ nak! (Jangan kau memanjat hujan, nak!). Jangan berpikir tidak masuk akal! Kau harus sadar diri! Bangun pagi saja selalu telat. Shalat kamu selalu bolong! Mau kerja di Belanda pun dapat ongkos dari mana? Kamu tidak usah kuliah kalau begitu! Lebih baik jadi petani garap sembari menggembala ternak. Setiap tahun harga ternak akan terus naik, setahun saja dipelihara akan beranak pinang. Kita dapat untung jutaan. Lima tahun saja kamu bertahan, kamu bisa menikah dengan teman SMA kamu yang kaya itu, agar hidup kita tidak terusan miskin”.

Baru kali ini terdengar suara dialog seperti itu. Bisa saja mereka yang pertama kali bertikai.

“Sama saja mempe bosi' pak! (Sama saja memanjat hujan, pak!). Melamar si Siti itu butuh modal lima ratus juta, kita dapat dari mana. Ia anak Camat. Ibunya nyaleg. Bagaimana bisa kita menyatu dengan keluarga kaya raya seperti itu. Biar saja aku kuliah dulu, barangkali ada kekasih hati di tanah rantau nantinya. Barangkali di sana ada yang satu visi denganku pak. Biar aku bawa pulang seperti anak perantau lainnya. Tunggu lima tahun. Lihat lima tahun ke depan pak. Mulai hari ini aku akan rajin baca buku, bangun pagi. Mulai hari ini pula aku akan turun ke sawah pak”.

Matahari pagi itu tidak terlihat beranjak. Sepertinya terhalau hujan. La Baco tidak jadi ke sawah. Ia pun tidak jadi memanjat pohon kelapa lantaran pohonnya sangat licin. Selama ini ia hanya memanjat dengan tali dari pelepah pisang yang tua. Tangga-tangga yang sudah dibuatnya tidak bakalan sampai ke puncak. Pohon-pohon kelapa di Belanga sangat tinggi. Muliati terus memasak dengan tungku di dapur, entah apa yang ia masak. Ia juga tidak jadi berangkat ke Pasar Benteng Belanga, lantaran hujan. Jalanan lewat persawahan tentu becek. Lewat jalan raya di pagi hari seperti ini akan menjadi aib jika jalan kaki. Ia terhalang pula atas pertikaian. Ongkos kendaraan ke pasar sudah dibelikan cerutu buat suami tercintanya.

Mitos hujan penggugur bunga mangga sepertinya terbantahkan. Sumanga kembali ke kamar. Entah ia melanjutkan mimpinya atau kembali membaca buku-buku Sastra Daerah itu yang penuh dengan petuah. Kupu-kupu dan burung-burung entah terbang kemana.

Penulis; Andi Samsu Rijal. Penulis saat ini sedang menyelesaikan risetnya tentang "Pemakaian Bahasa Pada Instagram". Ia mulai menekuni dunia tulis menulis sejak akhir 2019. Saat ini pula sedang merampungkan kumpulan cerpennya yang berjudul La Baco.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun