Mohon tunggu...
Andi Samsu Rijal
Andi Samsu Rijal Mohon Tunggu... Dosen - Peneliti Bahasa dan Budaya

Seorang Ayah; Pencinta Buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Memanjat Hujan

14 Januari 2024   21:39 Diperbarui: 16 Januari 2024   18:17 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi hujan, sumber ilustrasi; Kompas.com

“Kenapa pegawai saja yang dianggap pekerjaan? Sumanga menyela. Ayah! Aku ingin ke luar negeri, aku ingin kerja di Belanda,  Lontaraq kita ada di sana, hanya yang kuasai Bahasa Daerahnya yang diterima kerja di sana”

Aja mu mempe bosi’ nak! (Jangan kau memanjat hujan, nak!). Jangan berpikir tidak masuk akal! Kau harus sadar diri! Bangun pagi saja selalu telat. Shalat kamu selalu bolong! Mau kerja di Belanda pun dapat ongkos dari mana? Kamu tidak usah kuliah kalau begitu! Lebih baik jadi petani garap sembari menggembala ternak. Setiap tahun harga ternak akan terus naik, setahun saja dipelihara akan beranak pinang. Kita dapat untung jutaan. Lima tahun saja kamu bertahan, kamu bisa menikah dengan teman SMA kamu yang kaya itu, agar hidup kita tidak terusan miskin”.

Baru kali ini terdengar suara dialog seperti itu. Bisa saja mereka yang pertama kali bertikai.

“Sama saja mempe bosi' pak! (Sama saja memanjat hujan, pak!). Melamar si Siti itu butuh modal lima ratus juta, kita dapat dari mana. Ia anak Camat. Ibunya nyaleg. Bagaimana bisa kita menyatu dengan keluarga kaya raya seperti itu. Biar saja aku kuliah dulu, barangkali ada kekasih hati di tanah rantau nantinya. Barangkali di sana ada yang satu visi denganku pak. Biar aku bawa pulang seperti anak perantau lainnya. Tunggu lima tahun. Lihat lima tahun ke depan pak. Mulai hari ini aku akan rajin baca buku, bangun pagi. Mulai hari ini pula aku akan turun ke sawah pak”.

Matahari pagi itu tidak terlihat beranjak. Sepertinya terhalau hujan. La Baco tidak jadi ke sawah. Ia pun tidak jadi memanjat pohon kelapa lantaran pohonnya sangat licin. Selama ini ia hanya memanjat dengan tali dari pelepah pisang yang tua. Tangga-tangga yang sudah dibuatnya tidak bakalan sampai ke puncak. Pohon-pohon kelapa di Belanga sangat tinggi. Muliati terus memasak dengan tungku di dapur, entah apa yang ia masak. Ia juga tidak jadi berangkat ke Pasar Benteng Belanga, lantaran hujan. Jalanan lewat persawahan tentu becek. Lewat jalan raya di pagi hari seperti ini akan menjadi aib jika jalan kaki. Ia terhalang pula atas pertikaian. Ongkos kendaraan ke pasar sudah dibelikan cerutu buat suami tercintanya.

Mitos hujan penggugur bunga mangga sepertinya terbantahkan. Sumanga kembali ke kamar. Entah ia melanjutkan mimpinya atau kembali membaca buku-buku Sastra Daerah itu yang penuh dengan petuah. Kupu-kupu dan burung-burung entah terbang kemana.

Penulis; Andi Samsu Rijal. Penulis saat ini sedang menyelesaikan risetnya tentang "Pemakaian Bahasa Pada Instagram". Ia mulai menekuni dunia tulis menulis sejak akhir 2019. Saat ini pula sedang merampungkan kumpulan cerpennya yang berjudul La Baco.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun