Pasang Ri Kajang; Pedoman Hidup Masyarakat Adat Tanah Toa Kajang Bulukumba ditulis oleh Andi Samsu Rijal, dosen Sastra Inggris Universitas Islam Makassar
Pasang Ri Kajang merupakan pedoman hidup masyarakat Adat Kajang. Pasang Ri Kajang semacam aturan (dulu aturan tertulis) yang digunakan bersama oleh masyarakat Tanah Toa Kajang, Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.Â
Ibarat sebuah pemerintahan kecil, bahwa masyarakat yang hidup di dalamnya memiliki kesepakatan bersama untuk dipedomani sebagai keteraturan hidup. Pemangku adat (Ammatoa) bersama masyarakat adat menjalankan pedoaman tersebut.
Pasang Ri Kajang bersifat duniawi dan ukhrawi. Dalam artian bahwa tidak hanya tentang keteraturan hidup di dunia tetapi juga tentang pesan-pesan bermakna sebagai pedoman keagamaan dan untuk kebutuhan akhirat. Sehingga pedoman tersebut terus hidup dalam diri setiap warga atau masyarakat Kajang.Â
Bahkan hingga saat ini, Pasang Ri Kajang masih dijumpai di tengah masyarakat yang melabeli suku tertua di Sulawesi Selatan tersebut. Sehingga Pasang Ri Kajang dianggap seperti aturan agama bagi masyarakat adat hingga disakralkan. Dalam artian jika tidak dijalankan akan menuai bala, kutukan atau semacam hal yang negatif memabayanginya.
Seperti salah satu kutipan naskah Pasang Ri Kajang berikut dalam bahasa Konjo yakni Patuntung manuntungi, Manuntungi kalambusanna na kamase-maseanna, Lambusu’, Gattang,Â
Sa’bara nappiso’na. Pasang atau pesan tersebut bermakna bahwa orang-orang yang telah menghayati dan melaksanakan apa yang dituntutnya di kawasan adat (Ammatoa), yakni yang menuntut kejujuran, kesabaran, ketegasan, kebersahajaan dan kepasrahan dalam hidupnya.Â
Dari pedoman tersebut mengajarkan berbagai nialai-nilai sosial dan keagamaan. Bahkan Pasang Ri Kajang tidak hanya tentang hubungan sosial dan ketuhanan tetapi juga tentang kepatuhan masyarakat adat kepada alam.Â
Jika kita berkunjung ke masyarakat adat Kajang justru hal ini yang menonjol dan tidak dimiliki oleh masyarakat lain yakni kepatuhan kepada alam.Â
Mereka menjaga alam, tanah, tanaman dan tumbuhan. Sehingga tidak salah jika tanaman bambu di tanah adat Kajang dianggap sebagai anugrah dan terkadang disakralkan sebab dari bambu orang-orang belajar tentang kehidupan.
Pedoman hidup yang berlaku bagi masyarakat adat Kajang terus dipedomani bagi tetua (Ammatoa), orang tua hingga generasi milenial mereka. Uniknya bahwa di mana pun mereka berada pedoman tersebut tetap tertanam dalam diri mereka baik dalam bersikap maupun berperilaku.Â
Hanya ada beberapa generasi milenial yang melanjutkan studi di perguruan tinggi di kota Makassar dan daerah lainnya tidak menampakkan diri sebagai warga suku Kajang. Hal tersebut tidak nampak pada pakaian yang serba hitam dan tanpa akas kaki serta tanpa kebutuhan elektronik lainnya. Berbeda dengan Ammatoa atau yang orang tua sebagai pemegang amanah suku tersebut, di mana mereka tetap menjalankan tradisi yakni berbaju hitam, tanpa alas kaki dan tanpa elektronik.Â
Apa yang dipedomani oleh masyarakat adat Kajang adalah sesuatu yang hidup. Hidup dalam artian tidak hanya benda mati tetapi menjadi pedoman, nilai dan hal-hal positif yang berdampak pada masyarakat adat Kajang. Olehnya itu Pasang Ri Kajang tetap menjadi sesuatu yang mengalir dalam diri setiap generasi di sana. Sehingga banyak pembesar, banyak kalangan di luar di Bulukumba berkunjung dan berguru tentang kehidupan. Bagaimana mereka bisa bertahan di tengah arus demokrasi dan modernisasi saat ini. Adalah prinsip hp hidup dan keyakinan atas adanya Pasang Ri Kajang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H