Aku berangkat dulu ibu, sebelum orang-orang Belanga bertanya, dari mana saja, kenapa baru ke Belanga, memangnya kamu dulu pergi kemana.Â
Aku kembali ke kamar lama ibu. Kamar lama itu berisi kursi kayu yang antik, dulu ibu sering tidur di kursi itu bersamaku saat kecil. Di setiap sudut kamar itu, ada kelambu putih abu-abu.Â
Kelambu kembali aku pasang seakan-akan aku belum terbangun. Selimut kueratkan. Aku kembali menangis , teriak sepuasnya seakan mimpi. Aku berteriak kencang. Tak ada yang peduli. Udara pagi pun tetap menjalankan titahnya.Â
Angin pagi terus berderu masuk dari segala penjuru. Termasuk dari susunan atap-atap itu yang masih kokoh. Rumah ibu begitu sepi. Tak ada anak-anak bermain di pekarangan, di lapangan sepakbola di depan rumah, sapi-sapi tak ada yang berkeliaran. Sekolah ibu kandung pun terlihat sepi atau masih terlalu pagi. Kubungkus rapi nama yang tertera di pusara itu, agar tak ada lagi kata tanya siapa di sana, kenapa, dan mengapa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H