Angin dari timur dan tenggara terus berhembus. Ini menandakan pergantian musim sudah berlangsung. Angin itu masuk tanpa permisi. Ia lewat pintu depan, jendela, dan juga pada timpa laja (atap-atap rumah bugis yang bersusun berdasarkan kasta). Aku sedang terbaring di kursi kayu, tepat membelakangi arah angin timur laut itu. Tetap saja membasuh ubunku perlahan. Padahal bojo (kelambu) menutupi badanku yang aku gantung tepat di sudut rumah sebelah selatan.
Angin itu pula menjalar mencari celah. Ia menemukan lemari kosong, laci kosong, koper kosong, dengan dompet kosong, serta peti  tua yang kosong. Dulu, tempat-tempat itu engkau jadikan sebagai tempat perhiasan berharga. Bahkan pintu lemari dan laci di dalam kamar selalu aku cungkil dengan menggunakan ujung badik, badik titipan ayah. Yah badik itu aku ingat, dibuat dengan besi per bendi (dokar) tua peninggalan Belanda. Ayah sengaja membawaku ke pandai besi agar sesuai ukuran ruas jempolku. Bahkan badik itu sebelum pakai gagang, aku diminta untuk seimbangkan di lenganku. Ya, persis hitungannya ganji dengan ruas tanganku.
Koper dan Peti besi, tak sanggup aku membukanya sebab kau gunakan dengan tanggal kelahiranmu. Sementara nenek belum sempat memberitahuku tentang hari apa pertama kali Ummisabyan mencubitmu agar engkau menangis. Entah isi benda-benda itu kemana. Hanya dua puluh tahun lalu aku tinggalkan rumah ini. Semua berubah.
Aku dengar kabar tentang namamu. Nama depanmu sudah terhapus. Ia tegantikan, kata sebuah pesan masuk di telepon genggamku 19 tahun lalu. Aku mendatanginya sebelum embun pagi di tanah lapang depan rumah kita mengering. Tak ada yang melihatku. Bahkan ayam-ayam peliharaan ayah pun tak sempat terbangun saat aku ke sana.Â
Jarak dari rumah ke kuburan hanya hitungan sepuluh langkah ke belakang untuk ukuran kaki dewasa. Namun begitu berat kaki ini kulangkahkan. Begitu lama aku jalani, bukan tentang waktu batinku menyela. Apa yang mengikat kakiku, mataku memandang ke tanah. Tanah di samping rumah pun belum sempat berlumpur, hujan baru seminggu. Hujan di kampung Belanga berbeda di kota, hujan di kota sejam saja sudah banjir sementara hujan di kampung berbulan-bulan pun lamanya tak mengapa. Memang warga kampung hidup dari hujan.
Mataku tertuju pada pusara itu. Kakiku rasanya berat terangkat. Aku ingat petak kebun itu dibeli oleh ibu. Hasil dari bertani padi ayah dari sawah garapan tadah hujan, upah dari memanjat kelapa ayah di Belanga berhari-hari, hasil dari jualan sayur-mayur ibu, hasil dari ternak ayam kakakku yang ditabung satu kali enam bulan, juga hasil dari upahku bekerja di pabrik gabah milik Tuan Syarif. Adik, si bungsu belum berpenghasilan, mungkin ia rajin berdoa tiap hari agar segera kami diberi rezeki berupa tanah kebun untuk rumah tua ini didirikan dan juga rumah masa depan tempat kami kelak. Jerih payah itu tentu bertahun-tahun dikumpul ibu. Ia memang pantas menerima gelar orang sabar di Belanga, pandai berhemat, pandai mengatur keuangan hingga bisa beli tanah seharga dua belas juta dengan bayar empat kali musim. Luar biasa engkau ibu!
Pusara itu berlumut. Di sekitarnya penuh semak belukar. Rumput putri malu mengitarinya tanpa malu sedikitpun, seakan ia yang dibuatkan tempat tumbuh. Perlahan aku cabut satu persatu lumut yang menempel. Ada nama itu tertera dengan jelas. Hurufnya masih utuh seperti ingatanku yang tak pernah luntur.Â
Apa kabar ibu, bisikku tanpa ragu! Kini aku tahu kenapa dulu ibu selalu mengucap itu. Jangan pernah malu, kita hanya rupa yang tercipta agar punya laku yang baik. Tak perlu ragu dengan itu. Namun Tuhan peduli.Â
Untung saja pagi ini tak cepat mentari mengangkat embun di dedaunan, di rerumputan termasuk di lumut-lumut yang menempel pada pusara ibu.Â
Kutabur rupa bunga-bunga yang kupetik di pusara ibu. Wanginya harum.semerbak. kupu-kupu pagi iri, ia lalu menghampiri tepat di dekat nama ibu.